Pagi setelah bersih-bersih asrama aku bersiap-siap menuju salah satu pusat perbelanjaan terbesar di kota Surabaya, Royal Plaza. Tidak butuh waktu lama untuk sampai di sana, hanya sekitar sepuluh menit saja dari asramaku dengan mengendarai sepeda motor. Lain hal, jika ternyata sedang macet. Karena biasanya, pada waktu pagi dan sore jalan raya Ahmad Yani selalu ramai dan penuh sesak dengan kendaraan. Namun semoga saja kali ini tidak, sehingga aku tidak terlambat datang karena jarum jam sudah menunjukkan angka 09.45 sekarang.
Satu hal yang aku pikirkan selama dalam perjalanan, apa yang akan Nancy tanyakannya kepadaku tentang Islam. Bukan berupa kekhawatiran, karena jikapun aku tidak bisa menjawab, maka ada Asma’ yang aku yakin pasti bisa menjelaskan dengan baik. Yang menjadi pertanyaan bagiku adalah untuk apa dia bertanya tentang Islam. Namun, terlepas dari hal itu, semoga saja ini adalah kesempatan untuk menyampaikan dakwah kepadanya. Dan semoga pertemuan nanti membawa kebaikan baginya sebagai pintu terbukanya kesadaran dan hidayah.
Sampailah aku di depan parkir Royal Plaza. Setelah membayar karcis masuk dan memarkir sepeda motorku, segera aku menuju tempat yang telah disebutkan Nancy. Setelah memasuki pintu utama, kemudian aku berjalan ke utara menuju tangga eskalator, naik ke lantai dua. Bingung di mana tempat Hoka-Hoka Bento, aku menghampiri petugas Satpam yang sedang duduk-duduk di samping pagar pembatas lantai, tak jauh dari tangga eskalator. Aku bertanya kepadanya, kemudian beliau menunjuk ke arah selatan. Paling selatan, katanya, tepatnya di pojok sebelah timur. Maka barulah aku sadar, tempat itu yang terlihat dari arah depan gedung karena berdinding kaca transparan. Yang biasanya kulihat ditempati seseorang yang berpasang-pasangan di setiap meja makan.
Langkah kakiku akhirnya mengantarkanku sampai di depan sebuah pintu yang di atasnya bertuliskan Hoka-Hoka Bento. Dan benarlah, sebentar kemudian tiba-tiba ada yang memanggilku dari dalam, dari salah satu meja yang ditempati perempuan seorang.
”Kak! Kak Reza!” berdiri seorang perempuan mengangkat sebelah tangannya. ”Ini Nancy, masuk! Masuk saja.”
Mendengar panggilan itu aku langsung mendekat masuk, kemudian menempati tempat duduk yang telah dipersilahkan oleh Nancy. Benar-benar asing bagiku, seumur-umur baru sekali ini aku memasuki tempat makan seperti ini. Yang lebih mengherankan, aku hampir-hampir saja tak mengenali Nancy. Dia terlihat sangat berbeda saat aku tolong dari kecelakaan beberapa minggu lalu. Penampilannya rapi, memakai kebaya panjang warna hitam dan berkemeja putih setengah lengan. Kulit putih khas keturunan Chinanya dibiarkan alami tanpa berdandan menor di wajahnya. Sementara rambutnya lurus mengembang sedikit terurai. Sederhana, namun terlihat begitu anggun. Tetapi wanginya itu, segera mengingatkanku pada hadits Rasulullah saw. bahwa sesiapa perempuan yang memakai minyak wangi kemudian menyengaja berjalan melawati orang laki-laki dan tercium baunya, maka sama saja ia berzina. Tapi aku segera tersadar, dia Nasrani, bukan Muslimah.
”Kok sendirian? Katanya bawa teman?”, suara Nancy menyadarkanku.
”Oh, dia belakangan, mungkin.” Jawabku.
”Kok mungkin? Kenapa nggak bareng saja?” tanyanya bernada heran.
”Enggak. Kan dia perempuan.” jawabku polos.
Nancy tertawa ringan. ”Kenapa kalau perempuan kak? Aneh nih kak Reza.”
Kesadaranku segera pulih, ”Ee, maksudnya, dia katanya berangkat dari kampus aja, sedangkan aku tadi berangkatnya dari asrama atau kontrakan. Yaa, ada kesibukan dulu mungkin dia di sana. Nggak tahu lah. Tapi Nancy pasti tahu kok nanti kenapa dia nggak bareng denganku.”
”Ooh, ya sudah deh. Sambil menunggu teman kak Reza, ini diminum dulu.” Nancy menyorongkan minunan yang sudah dari tadi ia pesan.
Kami pun memulai basa-basi ringan, mengingatkan kejadian kecelakaan kemarin lalu yang kemudian membawanya kenal denganku. Ia kembali menyampaikan ucapan tarima kasih, juga menyampaikan salam orang tuanya kepadaku. Sebentar kami berbasa-basi, datang seorang perempuan berkaca mata dengan mengenakan jubah dan kerudung lebar sepergelangan tangan, seluruhnya berwarna merah hati. Aku pun mengalihkan pandangan kepadanya.
”Eh, itu dia temanku.” seruku kepada Nancy. Nancy pun melihat ke arah yang kumaksud.
Asma’ berjalan mendekat, anggun dengan pakaian lebarnya. Kemudian tepat di hadapan kami ia mengucapkan salam, ”Assalaamu ’alaa manittaba’al-huda.”
”Wa’alaikumussalam warahmatullahi wabarakatuh.” jawabku. Nancy juga segera menimpali menjawab, ”Wa’alaikumussalam.”
Asma’ tersenyum ramah. Sementara Nancy agaknya tertegun, mungkin tak percaya melihat teman yang kubawa ternyata mengenakan pakaian seperti itu. Namun tak sampai lama ia kemudian mengulurkan tangannya dan saling berkenalan. Dan suasana pun segera berubah akrab dan mencair.
”Jadi ini dia yang akan menemani kita ngobrol.” terangku kepada Nancy, ”Katanya kemarin Nancy mau bertanya-tanya soal Islam. Nah, nanti Nancy bisa bertanya kepadanya.” aku berisyarat tangan menunjuk Asma’.
”Ah, enggak kok. Mas Reza justru yang lebih faham.” Asma’ menyanggah, merendah.
”Emm, jadi bingung. Kok jadi pada malu-malu gini ya?” Nancy memulai bercanda. ”Eh, bentar, bentar. Ngomong-ngomong kak Asma’ ini teman kak Reza, masih hubungan saudara, atau jangan-jangan pacar atau tunangan?”
Blarrr! Pertanyaan tak terduga itu jelas-jelas membuatku tersengat, begitu juga Asma’. Hingga tanpa sadar, reflek aku dan Asma’ saling menatap. Segera aku mengalihkan pandangan dan buru-buru menjelaskan kepada Nancy, ”Waduh, bukan. Cuma teman biasa kok. Jadi Asma’ ini satu organisasi denganku di kampus. Kebetulan dia ini pengurus Divisi Keputrian. Dan kemarin kan Nancy mintanya teman yang faham ilmu agama, makanya aku sampaikan ke Asma’. Insya Allah dia bagus ilmu agamanya. Sudah teruji kok, asisten dosen dia sekarang.”
”Wow, hebat! Benar begitu kak?” tanya Nancy kepada Asma’ penuh ekspresif.
”Alhamdulillah, tapi biasa aja kok. Tidak sebagus seperti kedengarannya.” jawab Asma’ lembut.
Mengalihkan topik pembicaraan, obrolan mereka berdua aku sela. “Ya sudah. Sekarang Nancy mau tanya apa tentang Islam. Barangkali kami berdua nanti bisa bantu menjawab.”
Nancy mendekapkan tangannya di atas meja, ”Emm, sebenarnya banyak sih. Saya tertarik ingin tahu tentang Islam lebih dalam, dengan mendengarkan dari orang muslim sendiri. Selama ini saya mendengar dan membaca tentang Islam dari buku-buku yang ditulis oleh orang non-Islam, yang tentu isinya mendikreditkan agama Islam. Ada juga kalangan Islam liberal yang dekat dengan Papa. Papa itu orangnya religius lho kak, sudah hampir tiga tahun ini menjadi tokoh dalam organisasi Pluralisme agama. Mulanya saya ingin tanya ke teman-teman Papa itu, tapi saya rasa kurang sreg aja karena mereka pun sering dipermasalahkan sama muslim yang lainnya. Ibarat dosa dua kali, ingin tahu informasi yang seimbang tentang Islam malah kepada orang yang masih banyak dipermasalahkan. Makanya saya ingin tanyakan ke kak Reza.” Nancy menjelaskan.
”Lho, mengapa harus ke saya?” tanyaku setengah tertawa.
”Emm, apa ya, karena kelihatannya kak Reza beda . Apa itu istilahnya ya, Islam main-stream atau fundamental?” Alis Nancy ditariknya ke atas, ragu sekaligus ingin meyakinkan.
”Hahaha,” kali ini aku benar-benar tertawa. ”Bagaimana Nancy tahu kalau aku muslim fundamental?”
”Hehe, enggak sih. Saya lihat aja dari jenggotnya, celananya. Begitu deh. Ya pokoknya saya yakin aja begitu. Betul nggak kak?”
Aku tersenyum, tetap menyisakan tawa, ”Yaa, gimana ya.. Memang seharusnya seseorang yang beragama itu harus fundamental. Artinya pemahamannya harus mendasar, mengakar, terikat penuh dengan agamanya, alias tidak mengambang. Tetapi sekarang kata fundamental seringkali diidentikkan dengan sesuatu yang negatif. Makanya aku khawatir Nancy salah mengartikan.”
”Enggak kok,” sanggahnya, ”Buktinya kak Reza orangnya baik. Kemarin aja menolong saya waktu kecelakaan.” Nancy tersenyum. ”Eh kak, ini nih yang mau saya tanyakan. Kebetulan ada kak Asma’ juga di sini, mohon maaf sebelumnya untuk kak Asma’. Saya kan sering membaca berita pelarangan burqa di negara-negara Barat. Nah, tentang burqa atau pakaian tertutup bagi seorang muslimah itu bukankah namanya membatasi kaum perempuan?” Nancy mulai melayangkan pertanyaan kepadaku.
”Ooh, tentang itu. Bukan membatasi dalam arti negatif ya, mengekang misalnya, atau menjadi penghalang bagi seorang muslimah untuk menjalankan aktivitas kehidupannya. Justru dengan itu Islam bermaksud memuliakan perempuan. Ini masalah persepsi aja yang harus diluruskan. Nabi Muhammad saw. mengatakan bahwa perempuan muslimah adalah perhiasan yang terindah, maka untuk memuliakannya itu ditentukanlah kriteria pakaian untuk menutupi aurat atau perhiasannya. Dalam surah An-Nur ayat 31 Allah berfirman, ’…Dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya…’. Nah, mengapa tidak boleh ditampakkan? Itulah mulianya Islam, yang sangat memuliakan perempuan agar tidak mempertontonkan auratnya di muka umum, karena ia hanya diperuntukkan kepada orang yang halal saja baginya.”
Nancy menganggu-angguk pelan. ”Oo, bagus deh. Saya baru mendengar penjelasan seperti itu.”
Aku melanjutkan, “Mungkin ada baiknya jika ditanyakan langsung kepada orang yang bersangkutan. Kebetulan di sini kan ada Asma’. Nah, apakah dengan berpakaian yang tertutup dan lebar membuat seorang muslimah merasa haknya dikekang. Sekaligus nanti Asma’ bisa menerangkan bagaimana aturan itu di sebutkan dalam Al-Qur’an. Silakan.” Aku mempersilahkan Asma’.
Dengan santun Asma’ menundukkan kepala, “Bismillah, maaf sebelumnya. Jadi pakaian muslimah itu merupakan salah satu bagian dari kewajiban dalam Islam. Sama seperti ibadah-ibadah lainnya seperti sholat dan puasa yang diwajibkan bagi setiap muslim. Ia bukanlah kewajiban terpisah dikarenakan kondisi daerah seperti yang dikatakan sebagian orang. Misalnya karena Arab itu berdebu, panas dan sebagainya. Ia juga bukan kewajiban untuk kalangan tertentu yang sudah naik haji atau anak pesantren saja misalnya.
“Benar apa yang dijelaskan oleh kak Reza tadi, pakaian muslimah itu justru untuk memuliakan perempuan. Dan bagi saya, sama sekali saya tidak merasa terkekang. Justru saya merasa benar-benar dimuliakan. Saya malah membayangkan bagaimana seandainya saya mengumbar aurat saya dan dilihat oleh banyak orang. Na’udzubillah, maka pada saat itu saya akan merasa harga diri saya sangat murah dan terhinakan.”
Raut muka Nancy sedikit berubah, mungkin ia tersentak.
Asma’ masih melanjutkan, ”Dalam Al-Qur’an disebutkan secara jelas. Surah Al-Ahzab 59, di mana ayat itu telah mewajibkan jilbab. Defenisi jilbab di kalangan Ulama’ Islam ada perbedaan pendapat. Tapi dari keseluruhan definisi bisa diambil kesimpulan bahwa jilbab adalah pakaian longgar yang tidak terpotong, dan fungsinya untuk menutupi seluruh badan. Sederhananya, bisa dibayangkan seperti jubah atau gamis.”
”Maaf,” Nancy memotong, ”Bukannya jilbab itu yang penutup kepala?”
”Bukan,” tungkas Asma’, ”Penutup kepala beda lagi. Itu namanya khimar, atau yang biasa dikenal dengan kerudung. Ada ayatnya sendiri, yaitu surah An-Nur 31. Nah, longgar kerudung ini fungsinya menutupi kepala sampai dada. Maka, dengan demikian jilbab dan kerudung adalah dua hal yang berbeda, namun sama-sama diwajibkan seperti kewajiban-kewajiban dalam Islam yang lainnya.” papar Asma’ singkat.
Nancy memegang keningnya, ”Oh my God... Berarti, berarti ketika saya menampakkan aurat saya? Ah, tapi sebenarnya hati nurani saya dulu juga berkata seperti itu. Makanya sekarang saya tidak telalu suka menggunakan pakaian yang terlalu ketat dan minim, saya suka yang agak longgar seperti ini.” Nancy menunjuk pakaian yang dikenakannya. ”Tapi, bagaimana dengan pakaian non-muslim menurut pandangan Islam?”
Asma’ tersenyum, ”Tidak perlu khawatir. Selama kriteria pakaian itu ada dalam tuntunan agamanya, maka diperbolehkan mengenakannya sesuai dalam ajaran agamanya itu. Pendeta Budha misalnya, mereka tidak diharuskan untuk memakai jilbab dan kerudung juga. Jadi tidak apa-apa, asal mereka dapat menghargai dan menghormati yang lain dengan berpakaian yang sopan. Bahkan jika dalam agama mereka menghalalkan makan babi, maka dalam hal ini Islam tidak akan memaksakan mereka untuk mengharamkan makan babi sebagaimana pendapat dalam Islam.”
”Oo.. bagus yah?” Nancy manggut-manggut. ”Oke deh, mungkin cukup dulu penjelasan tentang pakaian muslimah, sedikit banyak kali ini sudah mengerti,” lanjut Nancy, ”Sekarang saya ingin tunjukkan kepada kak Reza dan kak Asma’. Saya sempat terkaget dengan tulisan dalam suatu buku. Saya membacanya setengah tahun yang lalu. Buku itu menyebutkan pendapat orientalis Kristen tentang Islam. Mereka berbicara tentang Islam. Pertama, Lorafa Gialery, ia mengatakan bahwa, ’Islam itu adalah agama dan negara. Dan sekalipun Barat yang kini maju dengan memisahkan agama dari negara, tetapi Islam tetap tidak memisahkan agama dari negara.’
”Lalu ada Gustav Grembown, dia mengatakan, ’Penobatan Khalifah kaum muslimin disepakati dengan kesepakatan atau ijma'. Hal ini telah diperinci oleh para Ulama fikih atau fuqaha.’ Dan yang terakhir Bernad Lewis, ’Sebelum Khilafah runtuh, para Sultan atau Khalifah adalah penguasa tanpa saingan yang hampir seluruh kaum muslimin bergabung dengannya.’ Bahkan saya juga sempat membaca dalam satu literatur bahwa di masa kekhilafahan Abbasyiyah ada seorang Pendeta yang menulis kitab fikih bagi umat Kristen yang tinggal di negara Khilafah. Nah, bagaimana itu menurut kak Reza atau kak Asma’? Benar nggak dalam Islam seperti itu?”
Aku terkejut bukan kepalang, serasa seolah badanku disiram air es mendengar ucapan itu. Orientalis Kristen bicara tentang Islam? Tentang Negara Islam? Subhanallah, aku baru tahu itu. Pikiranku langsung mengawang ke sebagian muslim yang menentang wajibnya Khilafah. Bagaimana mungkin itu terjadi, bahkan orientalis Kristen yang baru saja disebutkan Nancy lebih faham dari pada orang muslim sendiri.
”Bagaimana kak?” suara Nancy menyadarkanku.
“Oh, iya.” aku cepat-cepat menguasai diri, ”Sebenarnya aku baru mendengar ungkapan itu. Kaget juga. Tapi menurutku benar adanya, artinya sesuai dengan pemahaman Islam. Seperti yang dikatakan oleh orientalis Kristen itu, Khilafah memang sudah menjadi ijma’ atau konsensus Sahabat Rasulullah dan Ulama’ Ahlus Sunnah. Yang tentunya mereka berbicara berdasarkan Al-Qur’an dan Hadits. Di dalam hadits banyak berbicara tentang itu, bahkan dalam satu riwayat ada sebuah berita, atau lebih tepatnya janji Allah bahwa akan datang kembali masa kekhilafahan menjelang akhir zaman. Tapi ada juga sih yang masih salah faham, karena secara leterlek perintah wajibnya Khilafah tidak ada dalam Al-Qur’an. Tetapi, banyak ayat-ayat Al-Qur’an yang berbicara tentang Syari’at, yang kemudian mengindikasikan secara tersirat bahwa penerapannya itu harus dengan adanya institusi negara, atau yang disebut dengan Khilafah.” jelasku singkat kepadanya.
”Emm, maaf, saya tidak terlalu mengerti istilah-istilah dalam Islam, juga bagaimana Al-Qur’an dan Hadits berbicara tentang itu. Tapi oke lah. Hanya yang membuat saya bingung, bukankah kaum muslim sekarang juga bebas menjalankan Syari’atnya? Jadi tidak harus dengan Khilafah, kan?” tanya Nancy heran.
”Ya, memang saat ini umat Islam bebas melaksanakan Syari’at. Tetapi Syari’at yang sifatnya hanya individual, yang bersifat ritual, atau dalam Islam istilahnya ibadah mahdhoh. Sementara banyak Syari’at lain yang tidak terlaksana. Misalnya dalam hal mu’amalah seperti Sistem Ekonomi Islam yang anti riba, Sistem Pendidikan Islam, Pergaulan Islam, dan Sistem Uqubat atau sangsi hukum dalam Islam. Kesemuanya itu penerapannya membutuhkan institusi Negara. Sangat sulit jika dilaksanakan secara individu atau beberapa golongan saja. Lebih-lebih dalam hal sangsi hukum, di mana yang berhak menginstruksi pelaksanaannya hanyalah seorang Khalifah. Nah, hal seperti inilah yang dikecam dalam Islam, di mana seseorang mengambil sebagian Syari’at Islam, tetapi di saat yang sama meninggalkan sebagian yang lainnya. Dalam Al-Qur’an disebutkan dalam surah Al-Baqarah 85.
”Bahwa Islam tidak hanya mengatur urusan yang sifatnya vertikal saja, atau hubungannya dengan Allah yang sifatnya ritual. Tetapi juga hubungan horizontal yang mengatur hubungan antar manusia, atau segala permasalahan yang berhubungan antar manusia. Kemudian juga mengatur hubungan diagonal antara manusia dengan dirinya sendiri, dalam arti lain yakni masalah akhlak, pakaian dan sebagainya. Dengan demikian, itu artinya Islam adalah agama yang sempurna, sesuai dalam Al-Quran surah Al-Maidah ayat 5. Karenanya sangat logis jika Allah memerintahkan seorang muslim berislam secara keseluruhan atau yang disebut dengan istilah kaffah dalam surah Al-Baqarah 208.” panjang lebar aku menjelaskan.
”Hmm, oke, oke. Lalu bagaimana dengan nasib non-Muslim seperti saya? Apakah kemudian dalam Negara itu saya dipaksa untuk masuk Islam?” Nancy kembali mengajukan pertanyaan.
”Tidak,” jawabku, ”Non-Muslim tetap dipersilahkan mengimani agamanya masing-masing. Tidak ada paksaan dalam Islam, surah Al-Baqarah 256. Bagimu agamamu dan bagiku agamaku, surah Al-Kafirun 6. Hanya saja, mereka diharuskan untuk tunduk dengan aturan Islam. Sangat wajar aku kira, karena Islam punya aturan yang menyeluruh, bahkan dalam urusan Negara. Sementara agama-agama yang lain seperti maaf, Kristen misalnya, hanya mengatur masalah peribadatan semata, tetapi dalam kehidupan umum tidak.
”Di sinilah yang sering salah dipahami, banyak yang menganggap Islam hanya sebagai agama, yang kemudian disetarakan dengan agama-agama yang lainnya. Sehingga mereka menolak kepemimpinan negara oleh agama, termasuk Islam. Padahal sebenarnya tidaklah demikian. Karena selain sebagai agama, Islam juga merupakan Ideologi, yang fungsinya sebagai pandangan hidup dengan aturannya yang kompleks di semua aspek kehidupan. Berbeda dengan agama-agama lainnya, yang dalam aturan kehidupan umumnya menganut Ideologi tertentu di luar agamanya sendiri, entah itu ideologi Sosialisme atau Kapitalisme. Maka, sekarang yang menjadi pertanyaan adalah, sejauh sejarah manusia, ideologi mana yang terbaik yang pernah diikuti oleh agama-agama di dunia? Sosialisme, Kapitalisme, ataukah Islam? Sementara di dalam kekhilafahan dulu Yahudi-Nasrani misalnya, bisa hidup damai dan diperlakukan sebaik-baiknya selama mereka mentaati aturan Islam dan tidak menyakiti kaum muslimin.
”Tentu kemudian akan ada yang bertanya, mengapa Allah selengkap itu membuat aturan untuk manusia? Sebab, dalam pandangan Islam, Allah sebagai Sang Pencipta adalah Tuhan yang Maha Tahu dan Maha Adil. Dan jika aturan itu diserahkan oleh manusia, maka sangat mungkin aturan itu akan dimanipulasi sesuai dengan kepentingan individu atau kelompok masing-masing. Lalu bagaimana dengan nasib non-Muslim? Dalam negara Khilafah, kaum non-Muslim yang disebut dengan istilah kafir dzimmi akan diperlakukan sama seperti halnya orang-orang Islam. Bahkan Nabi Muhammad saw. pernah berkata, siapa saja yang menyakiti kafir dzimmi, maka sama saja mereka menyakiti diriku. Dan benar, keharnomisan itu terlaksana selama 13 abad lamanya ketika kekhilafahan dahulu. Maka , tidak perlu ada lagi kerisauan dan kekhawatiran bagaimana posisi non-Muslim.” Demikian aku semangat menjelaskan.
Nancy terdiam. Aku tak tahu apa yang dia pikirkan. Aku khawatir penjelasanku justru membuatnya merasa tersakiti hatinya. Dan jika benar hal itu terjadi, astaghfirullah, itu artinya ada yang salah dengan apa yang aku lakukan padanya. Tetapi, perlahan-lahan kemudian dia membuka suara, ”Tidak saya sangka, penjelasan yang benar-benar baru dan terasa begitu menyejukkan.” ucapnya, ”Tidak ada kata yang lebih indah dari apa yang dikatakan oleh Nabi yang kak Reza katakan di akhir tadi. Ternyata non-Muslim pun diatur dan dimuliakan dalam Islam. Tidak pernah saya dapati hal itu di dalam agama saya.”
Aku tersenyum lega, ternyata kekhawatiranku sama sekali tak terbukti. ”Ya, itulah makanya Islam dikatakan sebagai Rahmatan lil ’alamin, atau rahmat bagi seluruh alam, bukan rahmat untuk orang Islam saja.” tambahku singkat.
”Oh, iya!” sahut Nancy setengah memekik, ” Saya sering mendengar istilah rahmatan lil ’alamin itu. Tapi jauh dari yang kak Reza jelaskan. Seperti penjelasan teman-teman Papa yang di organisasi Pluralisme agama, kalimat rahmatan lil ’alamin lebih diartikan kepada penyamaan agama-agama, atau toleransi penuh kepada agama selain Islam, dan justru menentang negara menerapkan Syari’at yang notabene menjadi ajaran agamanya. Saya pikir-pikir, kok agak rancu mereka keislamannya ya? Terus kemudian, saya ingin bertanya juga mengenai hukum Islam yang jika nantinya dilaksanakan. Maaf, dalam hal ini saya rasa seperti yang kebanyakan orang katakan bahwa, hukum Islam itu, tidak berpri-kemanusiaan? Nancy serius.
”Memang benar seperti yang Nancy ceritakan. Mungkin mereka yang berpaham Pluralisme itu awal niatnya baik, demi kerukunan antar umat beragama. Tetapi mereka lupa bahwa paham itu tidak bebas nilai. Konsekuensinya mereka harus mengabaikan sebagian prinsip, dan justru dalam banyak hal menjadi skeptis. Padahal konsep kerukunan dalam Islam sebenarnya sudah diatur dengan jelas, tanpa dengan mengkaburkan hal-hal yang sifatnya prinsip. Nah, mengenai sangsi hukum dalam Islam yang terkesan mengerikan itu, pertama, mengapa harus takut jika kita tidak melakukan pelanggaran hukum? Kedua, aturan itu langsung datangnya dari Allah yang setidak-tidaknya mempunyai tiga fungsi. Satu, membuat jera kepada pelakunya. Dua, membuat takut kepada orang yang belum atau tidak melakukan. Tiga, sebagai penebus dosa. Menakjubkan bukan? Terkhusus fungsi yang ketiga tadi, tidak pernah ada dimiliki oleh hukum-hukum yang lainnya selain agama Islam. Nah, karena hukum itu datangnya dari Allah yang Maha Tahu, maka Dialah yang lebih faham hukum apa yang terbaik dan adil bagi manusia. Dan bukankah akan menguntungkan jika hukum itu diterapkan? Lingkungan menjadi lebih aman, jauh mengurangi potensi perzinaan bahkan perselingkuhan.
”Maka dengan demikian, sudah sepantasnya orang Islam taat dan patuh dengan seluruh aturan agamanya. Tidak seperti, maaf, dalam Kristen, setahuku banyak yang melanggar isi Al-Kitab, contohnya dengan tetap memakan babi padahal dalam Perjanjian Lama; Imamat 11 di sana jelas-jelas diharamkan. Atau juga perintah memuliakan hari Sabat, tetapi yang digunakan sebagai hari beribadah adalah hari minggu. Nah, Islam semestinya tidak seperti itu.” Tambahku.
Nancy terkejut mendengar ucapanku. Mungkin tak diduga bahwa aku akan berbicara tentang agamanya. Atau mungkin juga karena dia melihatku hanya kuliah di kampus agama Islam. Karenanya, dia pun buru-buru bertanya kepadaku, ”Maaf, kak Reza mengerti agama Kristen?”
Aku tersenyum, ”Dulu aku sempat belajar otodidak tentang Bible.”
”Wah, menarik.” wajah Nancy cerah, ”Ternyata saya tidak salah orang. Berarti kita juga bisa berdiskusi tentang Kristen? Apa yang kak Reza tahu tentang agama Kristen?” tanyanya bersemangat.
Aku bersiap-soiap untuk menjawab. Namun sebelum aku menyampaikan jawaban kepadanya, tiba-tiba Asma’ menyela untuk memohon diri karena jam sudah menunjukkan masuk waktu Dzuhur. Lagi pula, katanya, jam satu siang nanti Asma’ ada jam mengajar. Maka aku pun ikut pamit, dan pertemuan itu ditunda pada esok hari pada waktu dan tempat yang baru saja disepakati.
***
*Bersambung...
(Ahsan Hakim)
Sabtu, 09 April 2011
AGAMA CINTA (Bagian III)
Jika Anda menyukai Artikel di blog ini, Silahkan
klik disini untuk berlangganan gratis via email, dengan begitu Anda akan mendapat kiriman artikel setiap ada artikel yang terbit di Blog Indahnya Berbagi
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
*My Nasheed

0 komentar:
Posting Komentar