Masjid Ulul Albab berdiri gagah di samping kiri jalan masuk IAIN Sunan Ampel. Bentuknya tidak seperti kebanyakan masjid yang berkubah di atasnya, ia lebih menyerupai bangunan langgar yang sering ditemui di tanah Jawa. Hanya kelebihannya, ia berarsitektur modern, dengan mengambil desain tradisional-modern-minimalis. Banyak yang mengatakan masjid itu terbesar di seluruh kampus Surabaya. Kerangka pondasinya padat, dengan kulit di semua dinding dan lantainya yang berwarna krem, ditambah kombinasi warna coklat tua pada atapnya membuat masjid itu tampak kokoh berwibawa. Namun demikian, masjid itu sangatlah ramah. Ia bahkan menjadi salah satu tempat sentral bagi para mahasiswa dalam bertukar pikiran, belajar bersama menyusun tugas kuliah, mengadakan kajian-kajian, dan tentu pula ceramah agama yang diadakan rutin oleh pihak Takmir dan Institut.
Setiap sehabis sholat Ashar, serambi di sekitar masjid Ulul Albab biasanya selalu dipenuhi kelompok-kelompok kecil kajian keislaman dari organisasi-organisasi kampus. Terutama di awal-awal periode tahun ajaran baru. Di mana setiap organisasi kampus berlomba menjaring sebanyak mungkin calon anggota, salah satunya dengan cara mengadakan aktivitas kajian itu. Meski tidak dipungkiri bahwa sebagian forum kajian tersebut terkadang hanya sebagai formalitas intelektual belaka, artinya substansi yang dibicarakan hanya sebatas wacana sosial, atau bahkan wacana-wacana filsafat yang tak jarang berujung pada pengkaburan pemahaman agama.
Namun tidak selalu negatif seperti yang sering diberitakan tentang IAIN selama ini. Siang ini misalnya, setiap Rabu ba’da sholat Dzuhur rutin diadakan kajian Tafsir. Bertempat di lantai dua dengan mengambil ruang pertemuan di bagian selatan masjid. Kajian Tafsir tersebut diasuh oleh Prof. Dr. Muhammad Thoha, MA, Guru Besar Fakultas Ushuluddin yang sangat disegani namanya di kampus. Terkenal dengan kedisiplinan dan kepakarannya tentang ilmu tafsir, ustadz Thoha, demikian beliau biasa dipanggil, banyak mahasiswa yang terkagum sekaligus tidak berkutik di hadapannya.
Gigih dengan perlawanannya terhadap pemikiran-pemikiran orientalis Barat, ustadz Thoha bagaikan oase di tengah gurun pasir. Di saat metodologi tafsif Hermeneutika marak diajarkan dan diperbincangkan, beliau adalah salah satu penentangnya. Bahkan tak segan-segan bagi mahasiswa yang mengikuti kuliahnya, harus merelakan diri menyimpan sebagian besar referensi buku-buku liberalnya.
Dan saat ini, beliau duduk bersiap untuk memberikan kajian Tafsir. Baru belasan mahasiswa yang datang. Sambil menunggu peserta yang akan memenuhi ruangan, aku yang berposisi sebagai ketua Remaja Masjid menginstruksi beberapa anggota untuk memasang satir atau hijab sebagai pembatas antara peserta laki-laki dengan peserta perempuan. Sementara dari pihak akhwat yang dikoordinasi oleh Asma’ menyiapkan perlengkapan yang lainnya terutama konsumsi.
Seperempat jam kemudian kajian Tafsif dimulai. Ustadz Thoha memulai dengan membacakan surat Al-Maidah ayat 69.
“Sesungguhnya orang-orang mukmin, orang-orang Yahudi, Shabiin dan orang-orang Nasrani, siapa saja yang beiman di antara mereka, maka tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak pula mereka bersedih hati.”
Tidak seperti biasanya dengan langsung menjelaskan tafsir ayat yang baru saja dibacakan, kali ini ustadz Thoha terlebih dulu memberikan kesempatan kepada peserta mahasiswa untuk menjelaskan kandungan ayat tersebut. Tidak ada yang mengacungkan tangan. Praktis beliau menunjuk salah satu peserta, dan kebetulan yang ditunjuk saat ini adalah seorang akhwat yang bernama Asma’, yang sekaligus pengurus Divisi Keputrian.
Asma’ Amaliyah, mahasiswi Tafsir Hadits yang menjadi salah satu murid kebanggaan ustadz Thoha. Sampai saat ini ia mumtaz, hingga tidak mengherankan di semester tujuh ini ia diangkat sebagai asisten dosen beliau. Dengan takzim akhwat berkaca mata itu bersedia menjelaskan.
”Bismillahirrahmanirrahim,” ia memulai bicara. Semuanya menyimak dengan seksama. ”Baru-baru ini ada sebagian orang yang menyebarkan paham pluralisme dengan merujuk ayat itu. Mereka mengklaim bahwa Nabi Muhammad saw. awal mulanya menganggap bahwa orang-orang non-Muslim tidak akan masuk surga, tetapi dengan diturunnya ayat itu maka dianggapnya semakin jelas bagaimana sebenarnya kehendak Allah terhadap orang-orang non-Muslim. Bahwa katanya, perbedaan agama tidak menghalangi Allah untuk memberikan pahala.”
Ustadz Thoha mendengarkan tenang dalam duduk silanya.
”Kaitannya dengan surga dan neraka memang menjadi hak prerogatif Allah, namun kita tidak bisa melihat sebelah mata bahwa di samping memberikan semacam ’tips’ untuk menggapai itu, Allah juga memberikan kriteria seseorang ahli surga dan ahli neraka. Maka, untuk memperoleh pemahaman yang jernih terhadap ayat tersebut semestinya juga memperhatikan konteks siyaq, sibaq, serta lihaq. Pertama, memperhatikan ayat-ayat yang mendahuluinya, setidaknya mulai ayat 41 hingga 68. Secara eksplisit Allah mengecam sikap dan perilaku kalangan Ahlul Kitab yang ingkar dan munafik, gemar memelintir kebenaran, menuruti hawa nafsu, mempermainkan agama, dan menimbulkan permusuhan. Kemudian dilihat dari ayat yang mengikutinya, terutama ayat 78 hingga 86, yang menjadi konteks lihaq dari ayat yang dianggap pluralisme itu. Di sana dinyatakan bahwa mereka yang kufur dari kalangan Bani Israil telah dikutuk karena selalu durhaka dan melampaui batas, membiarkan kemungkaran terjadi, dan menjadikan orang tak beriman sebagai pelindung mereka.”
Meski peserta ikhwan tidak bisa melihat Asma’ berbicara karena terhalang oleh hijab, namun suaranya terdengar begitu fasih. Nada bicaranya khas, tegas dan meyakinkan, menampakkan bahwa dirinya seorang Muslimah intelektual.
”Sebelum merujuk pada kitab-kitab tafsir klasik,” lanjutnya, ”setidaknya ada satu pendekatan yang menarik, yaitu sola scriptura, atau yang dikenal dengan tafsir tanpa merujuk pada hadits. Pertama, apa yang dimaksud dengan ungkapan ”siapa yang beriman di antara mereka”? Jawaban dan perincian rukun iman beserta indikatornya kita temukan dalam surah al-Baqarah 285, Ali Imran 171-3, an-Nisa’ 162, al-A’raf 157, al-Anfal 2-4 dan 74, at-Taubah 13, al-Mu’minun 2-9, an-Nur 62, al-Hujurat 15, dan al-Hadid 19.
”Kedua, apakah Ahlul Kitab Yahudi maupun Nasrani juga beriman? Menurut Al-Qur’an mayoritas mereka tidak beriman. Ini karena mereka mendustakan Nabi Muhammad dan wahyu yang diturunkan kepadanya, menolak syariatnya, dan enggan masuk Islam. Itulah sebabnya mengapa Allah menegur dan mengecam mereka. Lihat al-Baqarah 89-93 dan an-Nisa’ 47, di sana Yahudi Ahlul Kitab disuruh beriman. Sementara dalam an-Nisa 171, Nasrani Ahlul Kitab disuruh menolak Trinitas. Namun tidak semua Ahlul Kitab adalah kafir. Ada sebagian kecil dari mereka yang beriman kepada Rasulullah saw. dan memeluk Islam. Hal itu tersebut dalam surah Ali Imran 110-115 dan 199, juga al-Ankabut 47.”
Sampai pada penjelasan ini, hampir semua peserta terlihat berdecak kagum. Sementara salah seorang teman yang berada di samping kananku mendekatkan kepalanya kepadaku sambil berseloroh berbisik, ”Cepetan tembak! Keburu diambil menantu sama ustadz Thoha. Asli kalo saya nggak tanggung! Ampun-ampun saya pokoknya. Hiks hiks hiks.” Temanku mengikik. Dan kujendul dia kepalanya, ”Hush!”
Asma’ melanjutkan. ”Lalu bagaimana penjelasan para Ahli Tafsir? Imam At-Thabari mengambil riwayat dari Abdullah bin Abbas, bahwa yang dimaksud dengan ”orang-orang yang beriman” dalam ayat tersebut adalah orang yang sepenuhnya mempercayai Rasulullah saw. serta apa yang disampaikannya dari Allah SWT. Ataupun menunjuk kepada orang-orang terdahulu yang beriman kepada Nabi Musa a.s. dan Isa a.s. sehingga datangnya Nabi Muhammad saw. lalu beriman kepada beliau saw..
”Sementara Imam al-Mawardi dalam tafsirnya an-Nukat wal Uyun menjelaskan bahwa terdapat dua pendapat mengenai ayat ini. Pertama, ayat tersebut turun menjawab pertanyaan Salman al-Farisi r.a berkenaan nasib mendiang mantan para sahabatnya yang masih beragama Nasrani, bahwa kaum Nasrani yang mati sebelum kedatangan Nabi Muhammad saw. insya Allah selamat, sedangkan mereka yang sempat mendengar seruan beliau saw. tetapi tidak beriman maka celaka. Kedua, ayat tersebut telah di-mansukh atau dibatalkan hukumnya oleh ayat 85 surah Ali Imran, sebagaimana diriwayatkan dari Ibn Abbas r.a. Dua keterangan ini sama seperti dalam tafsir Imam as-Suyuthi.
”Tidak jauh berbeda dengan penjelasan itu, Imam al-Qurtubi juga mengatakan bahwa ayat itu bermakna Iman kepada kenabian Rasulullah Muhammad saw., begitu juga tafsir Imam Ibnu Katsir, tafsir Ibnu Taymiyah, tafsir Syaikh al-Maraghi, dan masih banyak lagi kitab-kitab tafsir yang lainnya yang memberikan keterangan hampir serupa. Mungkin itu penjelasan dari ana, wallahu a’lam. Selebihnya bisa ditambahkan oleh yang lain, atau langsung kepada ustadz Thoha. Syukron, wassalamu ’alaikum warahmatullah.”
”Wa’alaikumumussalam wa rahmatullahi wa barakatuh.” koor peserta menjawab salam diikuti dengan gemuruh kalimat Subhanalah.
Waktu diambil alih oleh ustadz Thoha, dan langsung memberikan pujian kepada Asma’. Beliau tidak banyak menambahkan, karena apa yang sudah disampaikan oleh Asma menurutnya sudah cukup rinci dan gamblang. Beliau hanya memberikan penjelaskan pada point-point yang dianggapnya masih perlu diterangkan, serta memberikan beberapa catatan kaki saja.
Di tengah ustadz Thoha memberikan tambahan penjelasan itu, ponselku yang sedari tadi aku setting silent mendadak bergetar singkat. Pertanda ada SMS masuk. Segera kuambilnya dari saku dan membukanya. Nomor tak dikenal.
Tentu SMS itu sangat mengejutkan. Tiba-tiba saja Nancy mengubungiku memenuhi janji Ibunya beberapa waktu lalu. Tidak hanya itu, ia juga mengajakku bertemu dan berbicara soal Islam. Namun bukan itu masalahnya. Kalau aku mengiyakan untuk datang ke sana, ke tempat yang ditunjuk Nancy itu, kemudian aku berdua-duaan dengannya, bukankah itu namanya khalwat? Mungkin benar tidak bermaksud melakukan aktivitas maksiat, tetapi hal itu berpotensi menimbulkan fitnah. Bingung bagaimana membalasnya, namun akhirnya terpikir juga.
SMS langsung dibalas.
Segera kututup balasan SMS itu setelah sebelumnya kubaca. Lalu kusimpan kembali ponselku ke dalam saku. Namun kembali aku bingung, siapa yang bisa aku minta untuk menemani Nancy berbicara? Jelas aku mencarikan teman perempuan untuknya karena, aku kira kurang baik juga jika aku membawakan teman laki-laki.
Tak terasa saja kajian Tafsir telah usai. Maka segera aku berdiri menghampiri ustadz Thoha untuk bersalaman dan mengucapkan terima kasih mewakili pengurus Remaja Masjid. Beliau pun berpamitan untuk meninggalkan tempat, diikuti para peserta yang membubarkan diri. Yang tersisa hanya beberapa anggota Remaja Masjid untuk merapikan kembali tempat pertemuan yang baru saja dipakai.
Sambil merapikan tempat, kembali aku memikirkan pertemuan dengan Nancy besok pagi. Siapa yang bisa aku ajak untuk menemani. Dalam kebingungan itu, tiba-tiba datang Asma’ kepadaku menyerahkan daftar absensi. Maka reflek pula aku terpikir Asma’ untuk menemani berbicara dengan Nancy. Kebetulan, teringat SMS Nancy yang berharap teman yang aku bawa besok juga faham tentang ilmu agama. Maka aku pikir Asma’ adalah orangnya.
”Emm, maaf, ukh. Ana bisa minta tolong?” tanyaku padanya.
”Minta tolong apa?”, jawabnya, berbalik bertanya.
”Begini. Ada seorang perempuan yang minta ketemu dengan ana besok pagi,” Mendengar ucapanku itu, Asma’ menunduk sembari tersenyum simpul. Aku tak tahu mengapa dia tersenyum. Merasa ada yang salah, maka buru-buru aku menjelaskan kepadanya. ”Emm, maksudnya, dia mau bertanya-tanya soal agama Islam. Sementara dia beragama Kristen. Namanya Nancy, dia kenal dengan ana sekitar sebulan yang lalu ketika ana tolong dari kecelakaan. Afwan, anti bisa?”
”Ooh, insya Allah bisa. Dimana dan jam berapa? Karena jam satu siang ana ada jam ngajar di semester tiga.”
Aku pun memberi tahu Asma’ kapan waktu dan tempatnya. Kebetulan Royal Plaza dekat dengan kampus IAIN Sunan Ampel, berjarak sekitar dua ratus meter saja ke arah utara. Dan Asma’ tidak merasa keberatan.
”Syukron sebelumnya, jazakillah. Afwan merepotkan.”
”Sama-sama, waiyyak. Wassalamu’alaikum.” Asma’ berpamitan.
”Wa’alaikumussalam wa rahmatullahi wabarakatuh.”
***
*Bersambung... [NB: Di Bagian III Nancy akan berbicara Khilafah]
http://www.facebook.com/ahsan.hakim#!/notes/media-islam-online/agama-cinta-bagian-ii/10150149741199549
Setiap sehabis sholat Ashar, serambi di sekitar masjid Ulul Albab biasanya selalu dipenuhi kelompok-kelompok kecil kajian keislaman dari organisasi-organisasi kampus. Terutama di awal-awal periode tahun ajaran baru. Di mana setiap organisasi kampus berlomba menjaring sebanyak mungkin calon anggota, salah satunya dengan cara mengadakan aktivitas kajian itu. Meski tidak dipungkiri bahwa sebagian forum kajian tersebut terkadang hanya sebagai formalitas intelektual belaka, artinya substansi yang dibicarakan hanya sebatas wacana sosial, atau bahkan wacana-wacana filsafat yang tak jarang berujung pada pengkaburan pemahaman agama.
Namun tidak selalu negatif seperti yang sering diberitakan tentang IAIN selama ini. Siang ini misalnya, setiap Rabu ba’da sholat Dzuhur rutin diadakan kajian Tafsir. Bertempat di lantai dua dengan mengambil ruang pertemuan di bagian selatan masjid. Kajian Tafsir tersebut diasuh oleh Prof. Dr. Muhammad Thoha, MA, Guru Besar Fakultas Ushuluddin yang sangat disegani namanya di kampus. Terkenal dengan kedisiplinan dan kepakarannya tentang ilmu tafsir, ustadz Thoha, demikian beliau biasa dipanggil, banyak mahasiswa yang terkagum sekaligus tidak berkutik di hadapannya.
Gigih dengan perlawanannya terhadap pemikiran-pemikiran orientalis Barat, ustadz Thoha bagaikan oase di tengah gurun pasir. Di saat metodologi tafsif Hermeneutika marak diajarkan dan diperbincangkan, beliau adalah salah satu penentangnya. Bahkan tak segan-segan bagi mahasiswa yang mengikuti kuliahnya, harus merelakan diri menyimpan sebagian besar referensi buku-buku liberalnya.
Dan saat ini, beliau duduk bersiap untuk memberikan kajian Tafsir. Baru belasan mahasiswa yang datang. Sambil menunggu peserta yang akan memenuhi ruangan, aku yang berposisi sebagai ketua Remaja Masjid menginstruksi beberapa anggota untuk memasang satir atau hijab sebagai pembatas antara peserta laki-laki dengan peserta perempuan. Sementara dari pihak akhwat yang dikoordinasi oleh Asma’ menyiapkan perlengkapan yang lainnya terutama konsumsi.
Seperempat jam kemudian kajian Tafsif dimulai. Ustadz Thoha memulai dengan membacakan surat Al-Maidah ayat 69.
“Sesungguhnya orang-orang mukmin, orang-orang Yahudi, Shabiin dan orang-orang Nasrani, siapa saja yang beiman di antara mereka, maka tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak pula mereka bersedih hati.”
Tidak seperti biasanya dengan langsung menjelaskan tafsir ayat yang baru saja dibacakan, kali ini ustadz Thoha terlebih dulu memberikan kesempatan kepada peserta mahasiswa untuk menjelaskan kandungan ayat tersebut. Tidak ada yang mengacungkan tangan. Praktis beliau menunjuk salah satu peserta, dan kebetulan yang ditunjuk saat ini adalah seorang akhwat yang bernama Asma’, yang sekaligus pengurus Divisi Keputrian.
Asma’ Amaliyah, mahasiswi Tafsir Hadits yang menjadi salah satu murid kebanggaan ustadz Thoha. Sampai saat ini ia mumtaz, hingga tidak mengherankan di semester tujuh ini ia diangkat sebagai asisten dosen beliau. Dengan takzim akhwat berkaca mata itu bersedia menjelaskan.
”Bismillahirrahmanirrahim,” ia memulai bicara. Semuanya menyimak dengan seksama. ”Baru-baru ini ada sebagian orang yang menyebarkan paham pluralisme dengan merujuk ayat itu. Mereka mengklaim bahwa Nabi Muhammad saw. awal mulanya menganggap bahwa orang-orang non-Muslim tidak akan masuk surga, tetapi dengan diturunnya ayat itu maka dianggapnya semakin jelas bagaimana sebenarnya kehendak Allah terhadap orang-orang non-Muslim. Bahwa katanya, perbedaan agama tidak menghalangi Allah untuk memberikan pahala.”
Ustadz Thoha mendengarkan tenang dalam duduk silanya.
”Kaitannya dengan surga dan neraka memang menjadi hak prerogatif Allah, namun kita tidak bisa melihat sebelah mata bahwa di samping memberikan semacam ’tips’ untuk menggapai itu, Allah juga memberikan kriteria seseorang ahli surga dan ahli neraka. Maka, untuk memperoleh pemahaman yang jernih terhadap ayat tersebut semestinya juga memperhatikan konteks siyaq, sibaq, serta lihaq. Pertama, memperhatikan ayat-ayat yang mendahuluinya, setidaknya mulai ayat 41 hingga 68. Secara eksplisit Allah mengecam sikap dan perilaku kalangan Ahlul Kitab yang ingkar dan munafik, gemar memelintir kebenaran, menuruti hawa nafsu, mempermainkan agama, dan menimbulkan permusuhan. Kemudian dilihat dari ayat yang mengikutinya, terutama ayat 78 hingga 86, yang menjadi konteks lihaq dari ayat yang dianggap pluralisme itu. Di sana dinyatakan bahwa mereka yang kufur dari kalangan Bani Israil telah dikutuk karena selalu durhaka dan melampaui batas, membiarkan kemungkaran terjadi, dan menjadikan orang tak beriman sebagai pelindung mereka.”
Meski peserta ikhwan tidak bisa melihat Asma’ berbicara karena terhalang oleh hijab, namun suaranya terdengar begitu fasih. Nada bicaranya khas, tegas dan meyakinkan, menampakkan bahwa dirinya seorang Muslimah intelektual.
”Sebelum merujuk pada kitab-kitab tafsir klasik,” lanjutnya, ”setidaknya ada satu pendekatan yang menarik, yaitu sola scriptura, atau yang dikenal dengan tafsir tanpa merujuk pada hadits. Pertama, apa yang dimaksud dengan ungkapan ”siapa yang beriman di antara mereka”? Jawaban dan perincian rukun iman beserta indikatornya kita temukan dalam surah al-Baqarah 285, Ali Imran 171-3, an-Nisa’ 162, al-A’raf 157, al-Anfal 2-4 dan 74, at-Taubah 13, al-Mu’minun 2-9, an-Nur 62, al-Hujurat 15, dan al-Hadid 19.
”Kedua, apakah Ahlul Kitab Yahudi maupun Nasrani juga beriman? Menurut Al-Qur’an mayoritas mereka tidak beriman. Ini karena mereka mendustakan Nabi Muhammad dan wahyu yang diturunkan kepadanya, menolak syariatnya, dan enggan masuk Islam. Itulah sebabnya mengapa Allah menegur dan mengecam mereka. Lihat al-Baqarah 89-93 dan an-Nisa’ 47, di sana Yahudi Ahlul Kitab disuruh beriman. Sementara dalam an-Nisa 171, Nasrani Ahlul Kitab disuruh menolak Trinitas. Namun tidak semua Ahlul Kitab adalah kafir. Ada sebagian kecil dari mereka yang beriman kepada Rasulullah saw. dan memeluk Islam. Hal itu tersebut dalam surah Ali Imran 110-115 dan 199, juga al-Ankabut 47.”
Sampai pada penjelasan ini, hampir semua peserta terlihat berdecak kagum. Sementara salah seorang teman yang berada di samping kananku mendekatkan kepalanya kepadaku sambil berseloroh berbisik, ”Cepetan tembak! Keburu diambil menantu sama ustadz Thoha. Asli kalo saya nggak tanggung! Ampun-ampun saya pokoknya. Hiks hiks hiks.” Temanku mengikik. Dan kujendul dia kepalanya, ”Hush!”
Asma’ melanjutkan. ”Lalu bagaimana penjelasan para Ahli Tafsir? Imam At-Thabari mengambil riwayat dari Abdullah bin Abbas, bahwa yang dimaksud dengan ”orang-orang yang beriman” dalam ayat tersebut adalah orang yang sepenuhnya mempercayai Rasulullah saw. serta apa yang disampaikannya dari Allah SWT. Ataupun menunjuk kepada orang-orang terdahulu yang beriman kepada Nabi Musa a.s. dan Isa a.s. sehingga datangnya Nabi Muhammad saw. lalu beriman kepada beliau saw..
”Sementara Imam al-Mawardi dalam tafsirnya an-Nukat wal Uyun menjelaskan bahwa terdapat dua pendapat mengenai ayat ini. Pertama, ayat tersebut turun menjawab pertanyaan Salman al-Farisi r.a berkenaan nasib mendiang mantan para sahabatnya yang masih beragama Nasrani, bahwa kaum Nasrani yang mati sebelum kedatangan Nabi Muhammad saw. insya Allah selamat, sedangkan mereka yang sempat mendengar seruan beliau saw. tetapi tidak beriman maka celaka. Kedua, ayat tersebut telah di-mansukh atau dibatalkan hukumnya oleh ayat 85 surah Ali Imran, sebagaimana diriwayatkan dari Ibn Abbas r.a. Dua keterangan ini sama seperti dalam tafsir Imam as-Suyuthi.
”Tidak jauh berbeda dengan penjelasan itu, Imam al-Qurtubi juga mengatakan bahwa ayat itu bermakna Iman kepada kenabian Rasulullah Muhammad saw., begitu juga tafsir Imam Ibnu Katsir, tafsir Ibnu Taymiyah, tafsir Syaikh al-Maraghi, dan masih banyak lagi kitab-kitab tafsir yang lainnya yang memberikan keterangan hampir serupa. Mungkin itu penjelasan dari ana, wallahu a’lam. Selebihnya bisa ditambahkan oleh yang lain, atau langsung kepada ustadz Thoha. Syukron, wassalamu ’alaikum warahmatullah.”
”Wa’alaikumumussalam wa rahmatullahi wa barakatuh.” koor peserta menjawab salam diikuti dengan gemuruh kalimat Subhanalah.
Waktu diambil alih oleh ustadz Thoha, dan langsung memberikan pujian kepada Asma’. Beliau tidak banyak menambahkan, karena apa yang sudah disampaikan oleh Asma menurutnya sudah cukup rinci dan gamblang. Beliau hanya memberikan penjelaskan pada point-point yang dianggapnya masih perlu diterangkan, serta memberikan beberapa catatan kaki saja.
Di tengah ustadz Thoha memberikan tambahan penjelasan itu, ponselku yang sedari tadi aku setting silent mendadak bergetar singkat. Pertanda ada SMS masuk. Segera kuambilnya dari saku dan membukanya. Nomor tak dikenal.
Selamat siang. Benar ini nomor kak Reza? Gimana kabarnya kak? Sy Nancy. Masih ingat? Maaf, kalo tidak mengganggu waktunya bisa sy minta ketemu sama kak Reza? Sy datang sendirian, coz Mama Papa lagi ke luar kota. Nitip salam aja katanya. Lagian sy ingin tanya2 kpd kak Reza soal Islam. Kelihatannya kak Reza bagus agamanya, bukan? Tapi biar lebih leluasa ngobrolnya, gimana kalo kita ketemu di Royal Plaza. Dekat dengan tempat kak Reza kan? Kak Reza keberatan?
Tentu SMS itu sangat mengejutkan. Tiba-tiba saja Nancy mengubungiku memenuhi janji Ibunya beberapa waktu lalu. Tidak hanya itu, ia juga mengajakku bertemu dan berbicara soal Islam. Namun bukan itu masalahnya. Kalau aku mengiyakan untuk datang ke sana, ke tempat yang ditunjuk Nancy itu, kemudian aku berdua-duaan dengannya, bukankah itu namanya khalwat? Mungkin benar tidak bermaksud melakukan aktivitas maksiat, tetapi hal itu berpotensi menimbulkan fitnah. Bingung bagaimana membalasnya, namun akhirnya terpikir juga.
Ya, benar, sy Reza. Kabar sy baik. Ternyata Nancy masih ingat juga ke sy. Hehe. Sudah sembuh? Btw, bisa sih ketemu. Tapi tidak bisa sendiri. Gimana kalo Nancy sy carikan teman untuk menemani? Jadi kita nanti ngobrolnya tidak berdua. Yaa, kalo rame kan lebih asik. Oya, kapan dan jam berapa?
SMS langsung dibalas.
Puji Tuhan, sy sudah sembuh. Tinggal beberapa luka yg masih membekas. Emm, boleh deh bawa teman. Tapi kalo bisa yg faham tentang ilmu agama juga, biar nanti ikut ngobrol juga. Oke, besok pagi jam 10, kita ketemu di lantai dua Royal Plaza, tepatnya di Hoka-Hoka Bento. Makasih kesediaannya.
Segera kututup balasan SMS itu setelah sebelumnya kubaca. Lalu kusimpan kembali ponselku ke dalam saku. Namun kembali aku bingung, siapa yang bisa aku minta untuk menemani Nancy berbicara? Jelas aku mencarikan teman perempuan untuknya karena, aku kira kurang baik juga jika aku membawakan teman laki-laki.
Tak terasa saja kajian Tafsir telah usai. Maka segera aku berdiri menghampiri ustadz Thoha untuk bersalaman dan mengucapkan terima kasih mewakili pengurus Remaja Masjid. Beliau pun berpamitan untuk meninggalkan tempat, diikuti para peserta yang membubarkan diri. Yang tersisa hanya beberapa anggota Remaja Masjid untuk merapikan kembali tempat pertemuan yang baru saja dipakai.
Sambil merapikan tempat, kembali aku memikirkan pertemuan dengan Nancy besok pagi. Siapa yang bisa aku ajak untuk menemani. Dalam kebingungan itu, tiba-tiba datang Asma’ kepadaku menyerahkan daftar absensi. Maka reflek pula aku terpikir Asma’ untuk menemani berbicara dengan Nancy. Kebetulan, teringat SMS Nancy yang berharap teman yang aku bawa besok juga faham tentang ilmu agama. Maka aku pikir Asma’ adalah orangnya.
”Emm, maaf, ukh. Ana bisa minta tolong?” tanyaku padanya.
”Minta tolong apa?”, jawabnya, berbalik bertanya.
”Begini. Ada seorang perempuan yang minta ketemu dengan ana besok pagi,” Mendengar ucapanku itu, Asma’ menunduk sembari tersenyum simpul. Aku tak tahu mengapa dia tersenyum. Merasa ada yang salah, maka buru-buru aku menjelaskan kepadanya. ”Emm, maksudnya, dia mau bertanya-tanya soal agama Islam. Sementara dia beragama Kristen. Namanya Nancy, dia kenal dengan ana sekitar sebulan yang lalu ketika ana tolong dari kecelakaan. Afwan, anti bisa?”
”Ooh, insya Allah bisa. Dimana dan jam berapa? Karena jam satu siang ana ada jam ngajar di semester tiga.”
Aku pun memberi tahu Asma’ kapan waktu dan tempatnya. Kebetulan Royal Plaza dekat dengan kampus IAIN Sunan Ampel, berjarak sekitar dua ratus meter saja ke arah utara. Dan Asma’ tidak merasa keberatan.
”Syukron sebelumnya, jazakillah. Afwan merepotkan.”
”Sama-sama, waiyyak. Wassalamu’alaikum.” Asma’ berpamitan.
”Wa’alaikumussalam wa rahmatullahi wabarakatuh.”
***
*Bersambung... [NB: Di Bagian III Nancy akan berbicara Khilafah]
http://www.facebook.com/ahsan.hakim#!/notes/media-islam-online/agama-cinta-bagian-ii/10150149741199549
Jika Anda menyukai Artikel di blog ini, Silahkan
klik disini untuk berlangganan gratis via email, dengan begitu Anda akan mendapat kiriman artikel setiap ada artikel yang terbit di Blog Indahnya Berbagi
0 komentar:
Posting Komentar