Sementara di sekitar langit-langit mulai bersahutan suara adzan, memanggil-manggil umat yang masih terdetik iman dalam hatinya untuk datang mendengar khutbah seorang khathib, yang saat ini ia masih duduk di belakang mimbar sembari menjawab setiap jeda suara mu’adzin. Tak hanya suhu panas, bumi juga mengembuskan hawa malas. Membuat sebagian orang lebih suka menunda-nunda berangkat ke masjid dan memilih meninggalkan sebagian materi khutbah.
Segera aku ingin sampai di kontrakan kemudian melaksanakan sholat jum’at di masjid sana. Tentu akan ada yang bertanya, mengapa aku tidak berhenti saja di tengah perjalanan untuk melaksanakan sholat jum’at terlebih dulu. Dan aku memang sengaja, karena di samping pukul 13.00 nanti aku ada jadwal kuliah, posisiku saat ini juga sebagai musafir, yang dengan jarak sekian aku memperoleh keringanan. Karenanya, kalau sesampai di sana aku tidak kebagian waktu berjamaah sholat jum’at, maka aku bisa mendirikan sholat dzuhur sendiri.
Tepat di perempatan jalan lampu lalu lintas melotot marah memandangku, memaksaku berhenti. Sambil istirahat menunggu lampu itu beralih warna hijau, tiba-tiba saja sebuah mobil silver mengagetkanku, melesat cepat dari arah belakang tanpa peduli lampu lalu lintas yang sedang menyala merah. Mobil itu berlari mengerung dengan angkuhnya, menampakkan ia seakan penguasa jalanan. Aku menggeleng pelan sambil mengucap istighfar dalam hati.
Sejurus kemudian aku terkejut sekaligus terbelalak. Di sana, di depan sekolah SMA Kristen sedang berjalan seorang perempuan melintas zebra cross. Reflek, sambil memengang kedua gagang setir aku berdiri dan berteriak, ”Heii!!! A....”
”Masya Allah!”, aku terlambat.
Buru-buru aku menginjak perseneling dan menuju tempat kejadian itu, tanpa lagi memperdulikan hitungan mundur lampu lalu lintas yang hanya tinggal 9 detik saja. Sementara mobil silver terus melaju dengan cepatnya. Benar, tabrak lari.
Segera kuparkir motorku di pinggir jalan untuk kemudian menghampiri perempuan yang jatuh terkapar itu. Keningnya berdarah, kemungkinan terbentur muka aspal. Sementara beberapa bagian tangannya mengalami lecet dan berdarah. Kusentuh bahunya, menyadarkannya. Ah, aku bukan mahramnya. Tapi...
”Mbak? Nggak apa-apa?”
Badannya lemas, hampir tak sadarkan diri. Kulihat di sekitar benar-benar sepi. Yang ada hanya seorang anak kecil penjual koran yang duduk berteduh di dekat perempatan lampu lalu lintas. Kupanggil dia berteriak. Dan dia datang berlari.
”Tolong, bisa bantu mengantar perempuan ini ke rumah sakit, dik?”
”Pake apa mas? Nggak ada angkot.”
”Ada. Pake motorku. Tolong pegang dia di belakang, aku yang nyetir. Bisa ya? Tolong.”
”Koran saya, mas?”
”Udah, aku yang beli. Cepat!”
Kuangkat tubuh perempuan itu menuju motorku. Di bantu anak penjual koran membawakan tas pinggangnya. Tubuhnya agak berat. Rambutnya yang panjang menjulur bergelantungan saat kubawa ia setengah berlari. Baru pertama kali ini aku membopong seorang perempuan. Ah, terpaksa, masalah nyawa. Dan sejenak setelah menata posisinya di motorku, dengan segera kubawa ia ke rumah sakit terdekat.
***
“Alhamdulillah. Ini, untuk kamu, semuanya.” Kuberi anak penjual koran itu selembar uang lima puluh ribuan, ”Terima kasih ya, dik, nanti naik angkot aja nggak apa-apa kan?”
”Iya mas, nggak apa-apa. Terima kasih.”
”Oh, rumahnya mana?”, tanyaku mencegah langkahnya.
“Dekat terminal Bungurasih. Mari, mas, “ pamitnya, “Assalamu’alaikum.”
Perempuan itu sudah tertangani oleh dokter, terbaring lemah tak sadarkan diri. Tanpa menunggu ia siuman, aku geledah isi tasnya untuk mencari identitasnya. Kukeluarkan semua isinya, beberapa diantaranya buku-buku pelajaran, Al-Kitab (Bible), dompet dan ponsel. Kucari identitas berupa kartu nama atau KTP di dompetnya. Dapat. Kemudian kuambil ponselnya, mencari nama yang mudah dihubungi. Ini dia, Mama.
“Selamat siang?”, sapa suara perempuan di balik ponselku. Terdengar asing, telingaku tak terbiasa mendengar kalimat sapaan, oh ucapan salam itu.
”Oh, ya. Maaf, ini Ibunya Nancy, bukan?”, tanyaku padanya.
”Iya, betul. Ini siapa ya? Pacarnya?”
Aku tersentak, ”Ee.. Enggak, Bu. Aku Reza. Nancy baru saja kecelakaan, ini dia lagi di rumah sakit.”
”Apa?!”, terdengar suara Ibu itu terkejut, ”Nancy kecelakaan? Dimana? Sekarang di rumah sakit mana?”, suaranya terdengar gugup. Maka segera kusebut nama dan alamat rumah sakit. Dan Ibu itu segera menyusul bersama suaminya, katanya.
Barulah aku tahu nama perempuan itu, Nancy. Salah seorang murid SMA Kristen favorit di Surabaya. Pantas saja, gumamku, wajahnya mirip orang China. Biasa kujumpai ketika lewat depan sekolah itu hampir semua muridnya keturunan China. Salah seorang kawanku bilang, sekolahnya orang kaya, katanya. Percaya, karena yang menjemput mereka saja kebanyakan orang-orang bermobil mewah. Dan Nancy, bagaimana dia tidak ada yang menjemput? Ah, barangkali keluarganya lagi sibuk.
Menunggu setengah jam lamanya sebelum kemudian sepasang suami istri berjalan tergopoh-gopoh menghambur masuk ke dalam ruangan yang saat ini aku dan Nancy berada di dalamnya. Aku langsung bisa mengenalnya.
”Maaf, orang tua Nancy?” aku berdiri dari dudukku.
”Iya.” kedua orang itu menoleh kepadaku. ”Kamu, Reza? Yang telpon tadi?” Ibu itu berbalik bertanya.
”Iya, Bu. Alhamdulillah Nancy sudah ditangani dokter. Tidak terlalu parah katanya, Bu. Hanya terserempet mobil tadi. Tapi sekarang dia masih belum sadar.”
Sekejap Ibu itu mengerutkan dahi. Hanya sekejap, lalu cepat normal kembali. Salah? Ada yang salah dengan kata-kataku? Ah, ya.. aku mengucap Alhamdulillah. Tapi tetap saja itu tidak salah, aku hanya benar-benar tidak sadar kalau seseorang yang ada dihadapanku adalah Nasrani. Namun meski demikian, sejenak kami lekas akrab setelah berkenalan dan bercakap-cakap, terutama mengenai kronologi kecelakaan itu. Ibu itu mengucap terima kasih kepadaku.
”Puji Tuhan,” syukurnya.
Di sebelah Nancy yang tengah terbaring, aku, Ibu Nancy dan suaminya sedang mengobrol, terutama aku yang sering ditanya mengenai identitas dan keluargaku. Semula disangkanya aku teman dekat Nancy, sehingga mereka terheran-heran bagaimana anaknya bisa berteman denganku, yang barusan aku memperkenalkan diri kuliah di IAIN Sunan Ampel. Tetapi segera saja mereka tahu bahwa aku dan Nancy tidak saling kenal, dan baru saja bertemu lewat kejadian kecelakaan tadi.
Di sela-sela ngobrolku dengan kedua orang tua Nancy tiba-tiba terdengar suara rengekan pelan.
”Mmama..”
Dua orang tua yang berhadapan denganku langsung bergegas mengalihkan pandangannya. Nancy tersadar.
”Nancy? Sudah sadar, Nak?” Ibu menampakkan wajah gembiranya.
”Nancy di mana, Ma, Pa?” suara Nancy lemah.
”Di rumah sakit. Tadi waktu kecelakaan kamu ditolong sama Reza. Ini dia di samping Mama.” Tangan Ibu Nancy memegang bahu kiriku. Nancy menoleh sedikit kepadaku. Aku mengangguk.
Ibu itu kemudian bercerita sedikit tentangku kepada Nancy. Nancy mengucap terima kasih kepadaku. Kembali aku mengangguk kapadanya.
”Sama-sama.” ucapku. ”Mmm.. maaf, Bu, Pak. Karena semua kondisinya sudah membaik, aku mohon pamit dulu. Sudah jam dua, maaf, aku belum Sholat.”
”Oh iya, silakan, silakan.” ucap dua orang tua itu ramah, hampir bersamaan.
”Termakasih sudah menyelamatkan anak saya. Sebentar ya,” Ibu itu mengambil tasnya, ”sedikit untuk nak Reza, sebagai ucapan...”
”Oh, sudah, Bu. Nggak usah.” segera kupotong perkataannya, ”Terima kasih atas kebaikannya. Yang penting Nancy sekarang sudah selamat. Sudah ya, Bu, Pak. Aku mohon pamit, sudah menjelang waktu Ashar, aku belum sholat Dzuhur.”
”Emm, ya sudah. Kami minta alamat dan nomor HP saja. Nanti kapan-kapan kami boleh ke sana kan? Kalau boleh, nanti kami hubungi.”
”Silakan, Bu. Dengan senang hati.”
Aku menuliskan sesuatu di secarik kertas, lalu memberikannya kepadanya. Aku kembali berpamitan kepada mereka sebelum kemudian melangkah menuju pintu keluar. Namun, sampai beberapa jarak aku berjalan, selangkah sebelum kakiku sampai di pintu suara Nancy terdengar memanggilku. Aku menoleh sambil membalikkan badan.
”Assalamu’alaikum.” ucap Nancy kepadaku.
Aku tersenyum, ”Wa’alaikum.”
Maaf, batinku. Boleh jadi mungkin maksudnya baik, tapi bagaimanapun aku tidak berhak untuk menjawab salam kepadanya. Dia Nasrani, bukan seorang Muslimah. Karenanya, cukuplah seperti apa yang dicontohkan Rasulullah saw., kujawab salamnya dengan, wa’alaikum.
*Bersambung...
http://www.facebook.com/notes/ahsan-hakim/agama-cinta-bagian-i/210027905690917?ref=notif¬if_t=note_tag
Jika Anda menyukai Artikel di blog ini, Silahkan
klik disini untuk berlangganan gratis via email, dengan begitu Anda akan mendapat kiriman artikel setiap ada artikel yang terbit di Blog Indahnya Berbagi
0 komentar:
Posting Komentar