Abu bakar Ba’asyir. Seantero dunia, mengenal sosok orang ini. Dan kebetulan, orang tuaku memberikan nama mirip dengannya. Abdi Bakar Ba’asyir. Terlihar dari keluarga sholeh. Ayah, menjadi seorang Assatidz terkemuka di daerah. Pemilik Pondok Pesantren Al-Hidayah yang tersohor seantero wilayah. Ayah, biasa dipanggil banyak orang kyai Ba’asyir. Sehingga seringkali aku sebagai anaknya, begitu dihormati karena kedudukan sang ayah. Tapi, entahlah. Aku bosan dengan suasana pesantren. Aku bosan dengan hingar-bingar dunia dzikir dan majelis-majelis ilmu. Walau di otakku telah tersimpan banyak pemahaman-pemahaman keilmuan islam.
”Mas Abdi tadi dipanggil bapak?”
Begitu jawab mbah Darmo, yang kebetulan menjadi pelayan di rumah kami berpuluh tahun. Cuma mbah Darmo, yang kenal perasaan dan jiwa mudaku yang menggelora.
“Ok mbah. Makasih ya mbah.”
Aku pasti dipanggil oleh ayahku. Entah, sepertinya ini urusan perjodohan para ulama. Kebetulan Kyai Mahfudz Jafar, pemimpin Pondok Pesantren Al-Bayan di Cimahi adalah teman dekat ayah waktu muda saat belajar bahasa arab di Madinah al-munawaroh di bawah bimbingan Syeikh Haznan Ali bin Mahmood Sulthon.
“Iki looo, anakku abdi. Insya Allah, minggu ngarep iki mau ngelanjutke kuliah ning Unpad Bandung.”
“Ooo, ini yang namanya Abdi ya.”
Terdiam sesaat, kemudian Kyai Mahfudz terdiam sesaat. Lalu melanjutkan.
“Nak Abdi, Aku sama bapakmu telah sepakat ingin saling menjodohkan putra dan putri. Insya Allah, keputusan itu sama nak Abdi sendiri.”
Kaget bukan kepalang aku. Aku masih muda. Dan ingin menikmati usia mudaku. Aku masih ingin bebas menggelorakan jiwaku dan ingin terbang sehingga aku dapat menatap dunia sesungguhnya setelah hidup dalam kurungan.
”Kyai Mahfudz, saya tidak bisa jawab sekarang. Saya masih muda. Insya Allah baru dapat saya putuskan 2 tahun kemudian. Insya Allah.”
***
Tiba aku menjejakkan tanah dan kakiku di Unpad. Di sini, jiwa mudaku berontak, bergemuruh ingin menunjukan suasana hatiku yang sudah ingin meledak. Ya, baru saja menjejakan kaki di tanah Bandung, jiwa muda langsung berontak. Hitungan hari, tanpa sepengetahuan Abi, aku pergi ke berbagai tempat. Walaupun begitu aku masih melaksanakan sholat. Walau terkadang aku dapatkan waktunya dalam masa ”injury time”.
Aku melabuhkan kakiku, hampir setiap minggu di BIP (Bandung Indah Plaza) dan juga BSM (Bandung Super Mall). Walau jarak antara Jatinangor dan Bandung berjauhan. Tapi itu tidak mematahkan semangatku yang sedang membara. Aku pun menikmati hidup sebagai seorang ”Bobotoh” yang ikut menonton idolanya di Stadion Siliwangi serta Jalak harupat. Di Jatinangor Town Square aku bertemu dengan komunitas jiwaku saat kudapati permainan Billiard di sana.
Di sini banyak orang yang tak pernah tahu identitas asliku. Aku hanya bilang, seorang pemuda biasa. Walaupun mereka terkadang heran, ”setidaknya” jiwa solehku seringkali muncul ke hadapan mereka. Inilah, yang menyebabkanku sering dipanggil Alim daripada Abdi. Ah, aku tak masalah, yang penting aku bertemu komunitasku sesungguhnya.
Dalam kehidupan perkuliahan pun, ya aku menyembunyikan identitasku sebagai anak ”ulama”. Namun, jiwa kesolehanku, bangkit dan menerkam jiwa kelamku. Tatkala saat semester ke dua, aku mendapati pelajaran Agama Islam. Entah, pelajaran agama seperti ini tak pernah kudapati di dalam kehidupan pesantren. Atau memang aku sendiri yang acuh.
”Kamu kang, kenapa memilih Islam ?”
Begitu tunjuk dosen agama, yang biasa kami panggil Bapak Fahmi.
Aku tersentak. Dengan begitu mudah aku lantas menjawab.
”Karena aku terlahir sebagai seorang muslim.”
”Kalau karena faktor keturunan, pernahkah akang melihat agama yang lain.”
Kujawab lagi, ” Belum pernah pak. Tapi saya yakin agama saya yang benar pak.”
”Kalau agama lain juga mengakui sebagai agama yang benar, bagaimana?”
Terus terjadi perdebatan, hingga akal dan senjataku tak mampu berbuat lagi. Seketika pula aku berontak dan berdiri.
”Bapak, jangan mau membuat kami sesat dan lantas meninggalkan agama yang suci ini!!!”
Emosiku terus bertambah.
Teman-teman sekelas pada kaget. Bukan apa-apa, anak yang terlihat ”hedon” berubah seketika menjadi panglima perang ”Pejuang Islam”.
”Bapak ingin menekankan kepada kalian semua, bukan kepada akang saja tetapi akang dan teteh sekalian agar menjadikan islam itu sebagai ajaran bukan ibadah di masjid saya tetapi melingkupi seluruh aspek. Sehingga akidah menjadi modal penting kita sebagai seorang muslim.”
Subhanallah. Aku langsung tertunduk lesu. Jiwaku yang dulu kelam, seketika takluk dan merenungi diri. Pertanyaan demi pertanyaan itu telah membuka relung jiwaku yang gelap, menjadi terang benderang bak pesona permata yang begitu indahnya.
Lantas saja, aku segera istighfar. Dan kembali mensyukuri bahwa inilah sesungguhnya yang harus kulakukan di dunia. Aku bersegera membasuh tubuhku dan melakukan sholat taubat. Ya, mulai detik ini aku harus sungguh-sungguh mengenal Tuhanku, Nabiku, dan Kitabku. Memang, ilmu agama dari bapak masih terpatri, dan kini baru kusadari betapa indahnya menjadi seorang muslim itu.
Mulai saat itulah, teman-teman waktu kelamku intensitasnya kukurangi untuk kutemui. Ya, aku tetap bergaul dengan mereka namun membatasi gerak untuk tidak bermaksiat nyata lagi dengan Allah SWT. Entah, jiwaku yang liberal kini berubah seketika menjadi jiwa lembut nan santun. Deretan kitab-kitab pesantren kubaca dan kutelusuri.
Aku pun banyak bertanya kepada Rinta, teman sekelasku yang dijuluki ”Ustadzah Berjubah” Karena pakaiannya yang menggunakan gamis panjang. Yang menurutku inilah sosok wanita di dalam islam. Ummi juga pakaiannya seperti ini. Tapi inilah wanita anggun sebenarnya. Ya, aku baru tahu kenapa abi ngebet menjodohkan aku dengan putri Kyai Mahfudz. Ya, karena abi memahami benar, anak seorang ulama harus diselamatkan dari kehidupan sekulerisme. Abi sebenarnya sudah tahu, apa yang kan terjadi di masa mendatang.
Aku lantas menghungi Abi dan mengatakan aku belum dapat menerima tawaran dari kyai Mahfudz. Ayah tampak menahan geram dan amarahnya, walau nadanya terlihat dari telepon. Namun seketika, aku ajukan pertanyaan lain kepada ayahnya. Ayah, bolehkah Abdi mencari jodoh sendiri?
”Boleh anakku. Tapi ingat, mencari jodoh itu yang baik agamanya, bukan yang cantik saja.”
***
Dua tahun kemudian, aku memberanikan diri mendatangi alamat Rinta. Aku ingin bertemu dengan bapaknya, sekaligus berguru. Maklum aku mengetahui Rinta anak seorang ulama saat aku bergabung dengan Lembaga Dakwah Kampus di Universitas.
”Assalammualaikum. Rinta, afwan di pesantren bapakmu boleh aku mengkaji islam dalam waktu liburan ini.”
”Wslm. Boleh kok. Abi mah menerima dari siapa saja.”
Begitu sms saya kepada Rinta.Alhamdulillah, aku minta izin kepada pengajarku di masjid agar aku mengkaji ilmu terlebih dahulu di sana.
Saat sampai di depan pesantren itu. Betapa terkejutnya aku, bahwa Pesantren itu mirip dengan nama Pesantren Kyai Mahfudz, Pesantren Al-Bayan. Ah, aku beranggapan ini mungkin namanya saja yang mirip. Dan tatkala memasuki pesantren itu, Sedang dilaksanakan Walimah pernikahan. Apakah gerangan Rinta yang menikah. Kenapa dia tidak memberitahu perihal pernikahannya kepada anak-anak masid. Ah tak peduli.
Aku yang pakaian sederhana ini, ternyata di sambut oleh segolongan anak-anak santri lainnya, seperti mereka tahu perihal kedatanganku ini.
”Ada ini,Kang ?”
”Oooo, gini kang, kebetulan pak kyai hari ini anaknya ada acara walimahan.”
”Memang anaknya kyai yang mana kang?”
” Ooo itu, Rinta yang kuliah di Unpad.”
Terkejut hatiku. Siapakah yang beruntung menikahkannya. Aku juga melihat teman-teman keputrian masjid juga ada di sana. Ya, syukurlah berarti Rinta tidak lupa mengundang teman-temannya. Janur kuning yang melengkung itu, memperlihatkan simbol hari ini.
”Kang maaf, dipanggil sama Kyai.”
”Lho??? Kok tiba-tiba aku dipanggil oleh kyai. Siapa aku?”
Tak dinyana. Aku diantar oleh sekelompok santri-santri itu ke dalam rumah. Dan betapa terkejutnya aku, tatkala Abi ada di sana, Ada pula adikku, Risna, Solahuddin, dan Jannah. Mereka ada semua.
”alhamdulillah, sesuai informasi yang didapatkan dari Rinta, antum hari ini sudah ada di sini nak. Hari ini, Bolehkah saya Kyai Mahfudz mengharap dengan sangat jawaban dari Abdi untuk menikahi putri kami Rinta Khadijah Mahfudz.”
”Insya Allah, aku telah memilih sendiri pak Mahfudz siapa orang aku ingin kunikahkan, begitu juga kepada Bapak. Saya mohon maaf, tempo hari telah membatalkannya.”
”Lantas siapa nak yang engkau pilih, Alhamdulillah kalau memang sudah ada.”
”Dia putri bapak, Rinta yangselama ini menjadi tempat bertanya, sekaligus mencerahkan pemikiran dan jiwa saya yang kelam.”
***
http://www.facebook.com/notes/rizqi-awal-el-palembani/kutemukan-cinta/10150142417428099
Sabtu, 02 April 2011
Kutemukan Cinta
Jika Anda menyukai Artikel di blog ini, Silahkan
klik disini untuk berlangganan gratis via email, dengan begitu Anda akan mendapat kiriman artikel setiap ada artikel yang terbit di Blog Indahnya Berbagi
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar