by Ahsan Hakim
جاءت امرأة من الأنصار إلى النبي صلى الله عليه وسلم فخلا بها فقال والله إنكم لأحب الناس إلي
“Datang seorang wanita dari kaum Ansor kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam lalu Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pun berkhalwat dengannya, lalu Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam berkata, ‘Demi Allah kalian (kaum Anshor) adalah orang-orang yang paling aku cintai.’” (HR. Al-Bukhari no. 5234, Kitabun Nikah)
Imam Al-Bukhori memberi judul hadits ini dengan perkataannya,
باب ما يجوز أن يخلو الرجل بالمرأة عند الناس
“Bab: Dibolehkannya seorang laki-laki berkhalwat dengan seorang wanita jika di hadapan khalayak.”
Ibnu Hajar berkata, “Imam Al-Bukhori menyimpulkan hukum (dalam judul tersebut dengan perkataannya) “di hadapan khalayak” dari perkataan Anas bin Malik dari riwayat yang lain (*) “Maka Nabi pun berkhalwat dengannya di sebagian jalan atau sebagian السكك (sukak).” Dan السكك, adalah jalan digunakan untuk berjalan yang biasanya selalu dilewati manusia.”
(*) Diantaranya diriwayatkan oleh Imam Muslim (4/1812):
عن أنس أن امرأة كان في عقلها شيء فقالت يا رسول الله إن لي إليك حاجة فقال يا أم فلان انظري أي السكك شئت حتى أقضي لك حاجتك فخلا معها في بعض الطرق حتى فرغت من حاجتها
“Dari Anas bin Malik bahwasanya seorang wanita yang peikirannya agak terganggu berkata kepada Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam, ‘Wahai Rasulullah, saya punya ada perlu denganmu,’ maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berkata kepadanya, ‘Wahai Ummu fulan, lihatlah kepada jalan mana saja yang engkau mau hingga aku penuhi keperluanmu.’ Maka Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pun berkhalwat dengan wanita tersebut di sebuah jalan hingga wanita tersebut selesai dari keperluannya.”
Ibnu Hajar berkata, “Yaitu ia tidak berkhalwat dengan wanita tersebut hingga keduanya tertutup dari pandangan khalayak (tersembunyi dan tidak kelihatan-pen), namun maksudnya dibolehkan khalwat jika (mereka berdua kelihatan oleh khalayak) namun suara mereka berdua tidak terdengar oleh khalayak karena ia berbicara dengannya perlahan-lahan, contohnya karena suatu perkara yang wanita tersebut malu jika ia menyebutkan perkara tersebut di hadapan khalayak.”
Ibnu Hajar menjelaskan bahwasanya ada khalwat yang diharamkan dan ada khalwat yang diperbolehkan:
- Khalwat yang diperbolehkan adalah sebagaimana yang dilakukan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersama wanita tersebut, yaitu memojok dengan suara yang tidak di dengar oleh khalayak namun tidak tertutup dari pandangan mereka. Hal ini juga sebagaimana penjelasan Al-Muhallab, “Anas tidak memaksudkan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam berkhalwat dengan wanita tersebut hingga tidak kelihatan oleh orang-orang sekitar Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam tatkala itu, namun Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam berkhalwat dengan wanita tersebut hingga orang-orang di sekitarnya tidak mendengar keluhan sang wanita dan pembicaraan yang berlangsung antara Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dan wanita tersebut. Oleh karena itu Anas mendengar akhir dari pembicaraan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dan wanita tersebut lalu iapun menukilnya (meriwayatkannya) dan ia tidak meriwayatkan pembicaraan yang berlangsung antara Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dan wanita itu karena ia tidak mendengarnya.” (Fathul Bari 9/413. Adapun perkataan Imam Nawawi bahwa “kemungkinan wanita tersebut adalah mahrom Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam seperti Ummu Sulaim dan saudara wanitanya.” (Al-Minhaj 16/68), maka kuranglah tepat karena sebagaimana dalam riwayat Imam Muslim bahwa wanita tersebut pikirannya agak terganggu, dan ini bukanlah merupakan sifat Ummu Sulaim).
- Khalwat yang diharamkan adalah khalwat (bersendiriannya) antara lelaki dan wanita sehingga tertutup dari pandangan manusia. Berkata Al-Qodhi dalam Al-Ahkam As-Sulthoniah tentang sifat penegak amar ma’ruf nahi mungkar, “Jika ia melihat seorang pria yang berdiri bersama seorang wanita di jalan yang dilewati (orang-orang) dan tidak nampak dari keduanya tanda-tanda yang mencurigakan maka janganlah ia menghardik mereka berdua dan janganlah ia mengingkari. Namun jika mereka berdua berdiri di jalan yang sepi maka sepinya tempat mencurigakan maka ia boleh mengingkari pria tersebut dan hendaknya ia jangan segera memberi hukuman terhadap keduanya khawatir ternyata sang pria adalah mahrom sang wanita. Hendaknya ia berkata kepada sang pria -jika ternyata ia adalah mahrom sang wanita- jagalah wanita ini dari tempat-tempat yang mencurigakan. -Dan jika ternyata wanita tersebut adalah wanita ajnabiah- hendaknya ia berkata kepada sang pria, ‘Aku ingatkan kepadamu dari bahaya berkhalwat dengan wanita ajnabiah yang bisa menjerumuskan.’”
والخلوة المحرمة هي ما كانت مع إغلاق لدار أو حجرة أو سيارة ونحو ذلك أو مع استتار عن الأعين، فهذه خلوة محرمة وكذا ضبطها الفقهاء
“Dan khalwat yang diharamkan adalah jika disertai dengan menutup (mengunci) rumah atau kamar atau mobil atau yang semisalnya atau tertutup dari pandangan manusia (khalayak). Inilah khalwat yang terlarang, dan demikianlah para ahli fikh mendefinisikannya.”
Jadi khalwat yang diharamkan ada dua bentuk sebagaimana dijelaskan oleh Syaikh Sholeh Alu Syaikh. Dan bukanlah merupkan kelaziman bahwa ruangan yang tertutup melazimkan juga tertutupnya dari pandangan khalayak.
Jika ada yang mengatakan, “Berdasarkan definisi khalwat yang diharamkan di atas maka berdua-duaannya seorang wanita dan pria di emperan jalan-jalan raya bukanlah khalwat yang diharamkan karena semua orang memandang mereka??”
Memang benar hal itu bukanlah merupakan khalwat yang diharamkan, namun ingat diantara hikmah diharamkan khalwat adalah karena khalwat merupakan salah satu sarana yang mengantarakan kepada perbuatan zina, sebagaimana mengumbar pandangan merupakan awal langkah yang akhirnya mengantarkan pada perbuatan zina. Oleh karena itu bentuk khalwat yang dilakukan oleh kebanyakan pemuda meskipun jika ditinjau dari hakikat khalwat itu sendiri bukanlah khalwat yang diharamkan, namun jika ditinjau dari fitnah yang timbul akibat khalwat tersebut maka hukumnya adalah haram. Para pemuda-pemudi yang berdua-duaan tersebut telah jatuh dalam hal-hal yang haram lainnya seperti saling memandang antara satu dengan yang lainnya, sang wanita mendayu-dayukan suaranya dengan menggoda, belum lagi pakaian sang wanita yang tidak sesuai dengan syari’at, dan lain sebagaianya yang jauh lebih parah. Khalwat yang asalnya dibolehkan ini namun jika tercampur dengan hal-hal yang haram ini maka hukumnya menjadi haram. Khalwat yang tidak aman dari munculnya fitnah maka hukumnya haram.
Ibnu Hajar berkata, “Hadits ini (yaitu hadits Anas di atas) menunjukan akan bolehnya berbincang-bincang dengan seorang wanita ajnabiah (bukan mahrom) dengan pembicaraan rahasia (diam-diam), dan hal ini bukanlah celaan terhadap kehormatan agama pelakunya jika ia aman dari fitnah. Namun perkaranya sebagaimana perkataan Aisyah
وأيكم يملك إربه كما كان النبي يملك إربه
“Dan siapakah dari kalian yang mampu menahan gejolak nafsunya sebagaimana Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bisa menahan syahwatnya.” (Fathul Bari 9/414).
Sa’id bin Al-Musayyib berkata,
لقد بلغت ثمانين سنة وأنا أخوف ما أخاف على النساء
“Aku telah mencapai usia delapan puluh tahun dan yang paling aku takutkan adalah para wanita.” (Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah dalam Musonnaf-nya 7/17, ia berkata, “Telah menyampaikan kepada kami Aswad bin ‘Amir, (ia berkata), ‘Telah menyampaikan kepada kami Hammad bin Salamah, dari Ali bin Zaid dari Sa’id bin Al-Musayyib…’”).
Dalam riwayat yang lain dari Ali bin Zaid bin Jad’an bahwasanya Sa’id berkata, “Tidaklah syaitan berputus asa dari (menggoda) sesuatu kecuali ia mencari jalan keluar dengan mempergunakan para wanita (sebagai senjatanya untuk menggoda)”, Ali bin Zaid bin Jad’an berkata, “Kemudian Sa’id berkata (padahal waktu itu ia telah berumur 84 tahun dan matanya yang satu tidak bisa digunakan untuk melihat lagi, dan mata yang satunya lagi rabun): ‘Tidak ada sesuatu yang lebih aku takutkan daripada para wanita.’” (Diriwayatkan oleh Al-Baihaqi dalam Syu’abul Iman 4/373 no. 5452 dengan sanadnya hingga Ali bin Al-Madini dari Sufyan dari Ali bin Zaid bin Jad’an).
Rasulullah bersabda,
مَا تَرَكْتُ بَعْدِي فِتْنَةً أَضَرَّ عَلَى الرِّجَالِ مِنَ النِّسَاءِ
“Tidak pernah aku tinggalkan fitnah yang lebih berbahaya terhadap kaum pria daripada finah para wanita.” (HR. Al-Bukhari no. 5096 [Kitabun Nikah] dan Mulim no. 97,98 [Kitab Adz-Dzikir])
Abdurrouf Al-Munawi mengomentari hadits ini, “Hal ini dikarenakan seorang wanita tidaklah menyuruh suaminya kecuali kepada perkara-perkara yang buruk, dan tidak memotivasinya kecuali untuk melakukan keburukan, dan bahaya wanita yang paling minimal adalah ia menjadikan suaminya cinta kepada dunia hingga akhirnya binasa dalam dunianya, dan kerusakan apa yang lebih parah dari hal ini, belum lagi wanita adalah sebab timbulnya mabuk asmara dan fitnah-fitnah yang lainnya yang sulit untuk dihitung.”
Ibnu Abbas berkata,
لم يكفر من كفر ممن مضى إلا من قبل النساء وكفر من بقي من قبل النساء
“Tidaklah kafir orang-orang terdahulu kecuali dikarenakan para wanita dan demikian juga dengan orang-orang yang di masa mendatang.”
Para raja mengirimkan hadiah-hadiah kepada para ahli fikih maka mereka pun menerima hadiah tersebut, adapun Fudhail ia menolak hadiah tersebut. Istrinya pun berkata kepadanya, “Engkau menolak sepuluh ribu (dinar atau dirham) padahal kita tidak memiliki makanan untuk dimakan pada hari ini?”, Fudhail pun menimpali, “Permisalan antara aku dan engkau (wahai istriku) sebagaimana suatu kaum yang memiliki seekor sapi yang mereka membajak dengan menggunakan sapi tersebut, tatkala sapi tersebut telah tua maka mereka pun menyembelihnya. Demikianlah aku, engkau ingin menyembelihku setelah aku mencapai usia senja, lebih baik engkau mati dalam keadaan lapar sebelum engkau menyembelih Fudhail.” (Al-Faidul Qodir 5/436).
Dari Imron bin Abdillah, Sa’id bin Al-Musayyib berkata,
ما خفت على نفسي شيئا مخافة النساء
“Tidaklah aku takut pada sesuatu menimpa diriku sebagaimana ketakutanku kepada (fitnah) para wanita.”
Para sahabat beliau berkata,
يا أبا محمد إن مثلك لا يريد النساء ولا تريده النساء قال هو ما أقول لكم
“Wahai Abu Muhammad, orang yang sepertimu tidak menghendaki para wanita dan para wanita pun tidak menghendakinya!”
Sa’id berkata, “Kenyataannya sebagaimana yang telah aku katakan kepada kalian.” (Diriwayatkan oleh Ibnu Sa’ad dalam At-Tobaqoot Al-Kubro (5/136) ia berkata, “Telah mengabarkan kepada kami ‘Amr bin ‘Ashim, ia berkata, “Telah mengabarkan kepada kami Salam bin Miskin, ia berkata, “Telah menyampaikan kepada kami ‘Imron bin ‘Abdillah,” ‘Ato’ berkata,
لو ائتمنت على بيت مال لكنت أمينا ولا آمن نفسي على أمة شوهاء
“Jika aku diberi kepercayaan untuk menjaga baitul mal (tempat penyimpanan harta kaum muslimin) maka aku akan menjalankan amanah tersebut, namun aku tidak bisa menjamin diriku dari seorang budak wanita yang cantik.”
Imam Ad-Dzahabi mengomentari perkataan ‘Ato ini,
صدق رحمه الله ففي الحديث ألا لايخلون رجل بامرأة فإن ثالثهما الشيطان
“Sungguh benar perkataan ‘Ato’ -semoga Allah merahmati beliau- sebagaimana telah disebutkan dalam hadits, ‘Janganlah seorang laki-laki berkhalwat dengan seorang wanita karena syaitan menjadi orang ketiga diantara mereka berdua.’” (Siyar A’lam An-Nubala 5/87-88).
Maka sungguh benarlah perkataan Ahmad bin ‘Ashim Al-Anthoki (beliau meninggal tahun 239 H),
من كان بالله أعرف كان منه أخوف
“Barangsiapa yang lebih mengenal Allah maka ia akan lebih takut kepada Allah.” (Al-Bidayah wan Nihayah 10/318, Bugyatut Tolab fi Tarikh Al-Halab 2/750).
Lihatlah para salaf seperti Sa’id bin Al-Musayyib yang tidaklah pernah dikumandangkan adzan selama empat puluh tahun kecuali Sa’id telah berada di mesjid (Tahdzibut Tahdzib 4/87), demikian juga ‘Ato yang Ibnu Juraij berkata tentangnya,
كان المسجد فراش عطاء عشرين سنة وكان من أحسن الناس صلاة
“Mesjid adalah tempat tidur ‘Ato’ selama dua puluh tahun, dan beliau adalah orang yang paling baik sholatnya.” (Siyar A’lam An-Nubala 5/84, Tahdzibul Kamal 20/80, Tarikh Ibnu ‘Asakir 40/392, Hilyatul Auliya’ 3/310).
Dengan ibadah mereka yang luar biasa tersebut maka mereka lebih mengenal Rob mereka shingga mereka lebih takut kepada Allah, takut kalau diri mereka terjerumus dalam kemaksiatan. Tidak sebagaimana halnya sebagian kaum muslimin yang merasa percaya diri untuk terselamatkan dari fitnah, apalagi fitnah yang sangat berbahaya yaitu fitnah wanita???
Dan diharamkan berkhalwatnya seseorang dengan lawan jenisnya yang bukan merupakan mahromnya, dan hal ini umum mencakup seluruh bentuk, dan sama saja apakah disertai nafsu syahwat ataupun tidak, karena Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam melarang berkhalwat secara mutlak baik disertai syahwat maupun tidak.
Dikatakan kepada Abul Qosim An-Nasr Abadzi, “Sebagian orang duduk (bergaul) dengan para wanita dan mereka berkata, “Saya bisa terjaga untuk tidak memandang mereka.” Ia pun berkata, “Selama jasad masih utuh maka perintah dan larangan juga tetap berlaku dan penghalalan dan pengharaman juga tetap ditujukan dengan keduanya (yaitu perintah dan larangan) dan tidaklah memberanikan diri kepada syubhat-syubhat kecuali orang yang menjerumuskan dirinya untuk jatuh dalam hal-hal yang haram.” (Syaradzatuz Dzahab 3/58, Tobaqoot As-Sufiah 1/364).
Dikutip dari "Mewaspadai Bahaya Khalwat" http://muslim.or.id/akhlaq-dan-nasehat/mewaspadai-bahaya-khalwat.html
Jika Anda menyukai Artikel di blog ini, Silahkan
klik disini untuk berlangganan gratis via email, dengan begitu Anda akan mendapat kiriman artikel setiap ada artikel yang terbit di Blog Indahnya Berbagi
0 komentar:
Posting Komentar