by Ahsan Hakim
BEBERAPA waktu lalu, seseorang telah mengirim pesan dan bertanya kepada saya, tentang Hermeneutika. Sejujurnya, saya merasa tidak berhak untuk menjawab, lebih-lebih seseorang itu meminta saya agar memberikan penjelasan yang dapat langsung diterima dan dipahami khalayak. Ah, memangnya siapa saya? Berat, bicara soal itu cukup berat. Namun di satu sisi, saya merasa tertantang untuk angkat bicara. Maka saya berusaha untuk menulis, yang tentunya sebatas kapasitas kemampuan saya. Namun harus tetap disadari, karena artikel ini sifatnya ”sekali tenggak”, maka yang saya tulis hanyalah sebagai pengantar untuk mengenal secara global, secara universal.
Baiklah, untuk mengawali tulisan ini saya akan mencoba bertanya. Pernahkah terlintas angan-angan dalam benak Anda, tentang mungkinkah jika aturan permainan bulu tangkis dipakai untuk aturan sepak bola? Hm, saya tidak bercanda. Kali ini saya serius. Saya pribadi jika mendapat pertanyaan semacam itu maka saya akan menjawab: Mungkin! Bisa-bisa saja. Namun terkait dengan dampak dan hasil, apa jadinya jika permainan sepak bola mematok aturan kemenangan ala bulu tangkis? Bisa-bisa pemain kedua kesebelasan dengkulnya melocot gara-gara permainan sepak bola yang baru boleh berakhir ketika salah satu tim memperoleh skor 15, sebanyak tiga kali dari lima babak, dalam sekali permainan!
Akan tetapi, dengkul melocot akibat sepak bola ngawur dan ngelantur tersebut mungkin akan tiada banding jika yang melocot adalah sebuah pemahaman, yang tentunya akan berimbas pada Aqidah seseorang. Yakni ketika metodologi Bible –hermeneutika- dipakaikan (baca: dipaksakan) pula untuk menafsirkan Al-Qur’an. Saya katakan bisa-bisa saja hermeneutika diaplikasikan dalam Al-Qur’an, sangat mungkin. Namun permasalahannya adalah terkait dampak dan hasil. Karena resikonya, hermeneutika akan menaruh asumsi dan konsekuensi yang luar biasa hingga harus merubah nilai-nilai epistemologis jika memang diberlakukan terhadap Kitab Suci umat Islam.
Pada dasarnya, hermeneutika artinya adalah menafsirkan, derivat dari kata ”Hermes” yang dalam mitologi Yunani dikatakan sebagai dewa yang diutus oleh Zeus (Tuhan) untuk menyampaikan pesan dan berita kepada manusia di muka bumi. Istilah hermeneutika pernah digunakan oleh mbah Aristoteles dalam kitabnya; Peri Hermeneias (Yunani), De Interpretationne (Latin), atau On The Interpretation (Inggris). Dalam kajiannya, Aristoteles hanya mengupas peran ungkapan dalam memahami pikiran; Kata benda, kata kerja, ungkapan, dan kalimat yang terkait dengan bahasa. Tidak sampai membahas tentang teks atau membuat kritik atas teks. (Lihat, Hartono Ahmad Jaiz, Ada Pemurtadan di IAIN, 165).
Lambat laun, hermeneutika tidak lagi dipahami sekedar makna bahasa, tetapi makna bahasa sekaligus filosofis. Sekitar abad ke-18 Masehi, para teolog Yahudi dan Kristen menggunakan hermeneutika untuk memahami teks-teks dalam Bible. Hal ini menyusul terjadinya gerakan Reformasi yang dicetuskan oleh Martin Luther di Jerman. Para teolog Protestan menolak klaim otoritas Gereja Katolik dalam pemaknaan dan penjabaran kitab suci. Adalah Friedrich Schleiermacher yang pertama kali memperluas batas wilayah penafsiran metode hermeneutika. Bagi kaum Protestan, setiap orang berhak menafsirkan Bible, asalkan tahu bahasa dan konteks sejarahnya. Maka kemudian dibangunlah metode ilmiah hermeneutika ini. Tujuannya, untuk mencari kebenaran Bible dan ’membebaskan tafsir dari dogma’. Tentunya wajar, sebab para teolog tersebut telah berkerut kening mempertanyakan apakah Bible itu wahyu Tuhan ataukah produk manusia. Hal ini karena telah didapati Bible yang berbeda-beda pengarangnya alias beragam versi. Hingga tak lagi menjadi rahasia umum, bahwa Bible adalah benar-benar hasil olah tangan ”kreatif” manusia.
Nah, dari sini kita bisa melihat bahwa, pertama, aplikasi hermeneutika sejatinya adalah untuk menemukan arti interpretasi sebuah teks yang dibuat oleh manusia. Kenapa? Karena ketika manusia menuliskan sesuatu, maka ia pasti membawa tendensi atau kepentingan atas tulisannya itu. Hal ini senada dengan apa yang dilontarkan oleh Jurgen Habernas. Bagi tokoh terkemuka Frankfurt School ini, hermeneutika bertujuan untuk membongkar motif-motif tersembunyi dan kepentingan terselubung yang melatarbelakangi lahirnya sebuah teks. Sebagai kritik ideologi, hermeneutika harus bisa mengungkapkan manipulasi, dominasi, dan propaganda di balik bahasa sebuah teks, segala sesuatu yang mendistorsi pesan atau makna secara sistematis. (Lihat, Dr.Syamsuddin Arif, Orientalis & Diabolisme Pemikiran, 181).
Dan kedua, adanya hermeneutika adalah untuk menginterpretasi konteks suatu budaya atau sejarah. Dua hal ini persis seperti yang pernah dikatakan Dilthey, dimana pemikir asal Jerman tersebut telah menekankan gagasan ’historisitas teks’ dan pentingnya ’kesadaran sejarah’.
HERMENEUTIKA DALAM STUDI AL-QUR’AN.
Belum lama ini, para pentolan Liberal sangat gandrung mengampanyekan pemikiran hasil asongan mereka dari Barat, yakni perlunya penafsiran ulang alias reinterpretasi Al-Qur’an dan ajaran Islam. Karena menurut mereka, tafsir klasik yang telah ada selama ini setidaknya telah membelenggu ”kreatifitas”, membuai umat manusia dalam kerangkeng pemikiran lama. Mereka menuduh tafsir klasik telah ’ahistoris’ (mengabaikan historisitas teks) dan dicap tidak kritis (uncritical). Karenanya, ayat-ayat Al-Qur’an yang terkesan ”menindas” perempuan, atau yang terkesan bar-bar seperti ayat-ayat jihad/qital dan hukum pidana (hudud), semuanya perlu ditinjau dan ditafsirkan kembali agar sesuai dengan prinsip-prinsip HAM dan demokrasi, serta sesuai dengan peradaban manusia yang telah berganti-ganti.
Padahal, pada hakikatnya, justru merekalah yang terkesan asal terima dan asal telan. Mereka memang begitu kritis dengan Ulama-Ulama Islam, tapi di saat yang sama, mereka menelan mentah-mentah pemikiran Orientalis Barat dengan nyaris tanpa sikap kritis sedikitpun. Mereka latah terhadap orang semacam Abraham Geiger, seorang Rabbi sekaligus perdiri Yahudi Liberal di Jerman, yang termasuk menjadi pelopor awal dalam penggunaan ”biblical critism” ke dalam Al-Qur’an. (Lihat, Adnin Armas MA, Metodologi Bible Dalam Studi Al-Qur’an, 48).
Hermeneutika memang sesuai untuk sebuah tafsir Bible, karena kitab tersebut adalah hasil campur tangan manusia. Yang meskipun tak jarang membuat ”gerah” umat Kristen sendiri, namun setidaknya hermeneutika telah memberikan beberapa ”penyelamatan” atas teks Bible yang sudah berubah makna dari zamannya, sebagaimana yang telah dibahas oleh Hj.Irena Handono dalam Tabloid Media Umat. (Lihat, Media Umat 20/May/2010, Kajian Kristologi: Hermeneutika Menyelamatkan Bibel, Merusak Alquran).
Nah, akan berbeda ceritanya jika hermeneutika ini diberlakukan pula terhadap Al-Qur’an. Karena melihat latar belakang metodologi tersebut yang dibidani oleh peliknya permasalahan Bible, maka hermeneutika jelas tidak bebas-nilai. Ia mengandung sejumlah asumsi dan konsekuensi. Adalah Dr. Syamsuddin Arif, Cendekiawan jebolan Institute of Islamic Thought and Civilization (ISTAC) - IIUM Malaysia yang mengusai 8 bahasa itu, telah membagi 4 point permasalahan dalam hermeneutika, di antaranya:
1. Hermeneutika menganggap semua teks adalah sama.
Artinya, tidak ada bedanya antara teks yang asalnya dari Tuhan dan teks yang dibuat oleh manusia. Hal ini terlahir dari kekecewaan Yahudi-Kristen terhadap Bible. Kitab yang semula diyakini suci itu ternyata palsu belaka, bahkan jauh sebagian besar dari Perjanjian Lama (Torah) dan Perjanjian Baru (Gospel) adalah hasil campur tangan manusia ketimbang wahyu Allah kepada Musa dan Isa, a.s. <span>Dan sebagai konsekuensi ketika hermeneutika diaplikasikan dalam Al-Qur’an, maka Kitab suci umat Islam ini akan tertolak anggapan sebagai Kalamullah.</span> Teks Al-Qur’an akan tidak ada bedanya dengan tulisan pada lembaran Koran. Dengan demikian, mau tidak mau Al-Qur’an yang telah diyakini umat Islam sebagai wahyu yang diturunkan dari Allah baik dari segi ”lafdzan” dan ”ma’nan” harus digugurkan, berikut juga hadits yang menyebutkan bahwa satu huruf dalam Al-Qur’an merupakan 10 kebaikan, ikut juga menjadi korban.
Sebagai contoh adalah seorang dedengkot Orientalis asal Mesir Nasr Hamid Abu Zayd, yang telah merubah anggapan Al-Qur’an sebagai muntaj tsaqofi (produk budaya), yang dengan keyakinannya itu, maka kemudian ia diputuskan murtad oleh Mahkamah al-Isti’naf Cairo. Tak kalah ekstremnya, tidak sedikit dari kalangan Orientalis Barat malah tanpa tedeng aling-aling mengatakan bahwa Al-Qur’an adalah produk atau hasil pikiran Muhammad SAW.
2. Hermeneutika menganggap setiap teks sebagai produk sejarah.
Asumsi ini sebenarnya sangat tepat dalam kasus Bible, mengingat sejarahnya yang amat problematik. Hal ini tentu tidak berlaku di dalam Al-Qur’an, sebab nilai kebenarannya melintasi batas-batas ruang dan waktu (trans-historical) dan pesan-pesannya ditujukan kepada seluruh umat manusia (hudan lin-nas).
3. Hermeneutika menghendaki pelakunya untuk menganut relativisme epistemologis.
Tidak ada tafsir yang mutlak benar, semuanya relatif. Benar menurut seseorang boleh jadi salah menurut anggapan orang lain. Dan kebenarannya bergantung pada konteks zaman dan tempat tertentu. Asumsi tersebut akan berakibat kacau jika diberlakukan dalam Al-Qur’an. Seperti yang telah diwanti-wanti oleh seorang Dosen Institute of Islamic Thought and Civilization (ISTAC) IIUM Malaysia, Dr. Ugi Suharto, dengan menyatakan bahwa dalam Al-Qur’an terdapat ayat-ayat yang sifatnya Qath’iy. Yang apabila hermeneutika digunakan kepada Al-Qur’an, maka ayat yang Muhkamat akan menjadi Mutasyabihat, yang Ushul manjadi Furu’, yang Tsawabit menjadi Mutaghoyyarot, yang Qath’iy menjadi Dhonniy, yang Ma’lum manjadi Majhul, yang Ijma’ menjadi Ikhtilaf, yang Mutawatir menjadi Ahad, dan yang Yaqin menjadi Dhonn bahkan Syakk. (Lihat, Islamia, vol 1, 2004, 52).
4. Praktisi hermeneutika dituntut untuk bersikap skeptis, selalu meragukan kebenaran dari mana pun datangnya.
Masih dari Dr. Ugi Suharto, bahwa kesimpulan hermeneutika setidaknya telah mengesahkan adanya satu problem besar yang disebut ”Hermeneutic circle”, yaitu sejenis lingkaran setan pemahaman obyek-obyek sejarah yang mengatakan bahwa ”jika interpretasi itu sendiri juga berdasarkan interpretasi, maka lingkaran interpretasi itu tidak dapat dielakkan”. Akibatnya adalah, pemahaman seseorang terhadap teks-teks dan kasus-kasus sejarah tidak akan pernah sampai. Karena apabila seseorang dapat memahami konteksnya, maka konteks sejarah itu pun adalah interpretasi juga. Nah, jika hal ini diterapkan di dalam Al-Qur’an, maka selama-lamanya Al-Qur’an tidak akan pernah dapat dimengerti dan dipahami, oleh siapa saja.
KAWAN, ngomong-ngomong soal olah raga, terus terang saya gandrung dengan sepak bola. Saat ini saya cukup segan dengan keperkasaan Inter Milan, meski saya lebih suka dengan gaya permainan Liga Inggris. Jika Anda sama Gibol-nya dengan saya, bagaimana jika kita sama-sama terbang ke FIFA dan mengusulkan aturan sepak bola baru. Selama ini pelaku sepak bola terbuai dalam kerangkeng berpikir lama. Kita buat yang lebih segar, yang lebih spektakuler: Sepak Bola ala Badminton. Barangkali kedatangan kita akan disambut, dan usulan kita bisa segera diterapkan di kancah persepak-bolaan dunia, bahkan di Piala Dunia. Bagaimana? Saya tunggu respon baik Anda. Salam dari saya, LA Mania. []
Jika Anda menyukai Artikel di blog ini, Silahkan
klik disini untuk berlangganan gratis via email, dengan begitu Anda akan mendapat kiriman artikel setiap ada artikel yang terbit di Blog Indahnya Berbagi
0 komentar:
Posting Komentar