by Ahsan Hakim
Cerita yang saya anggap menarik. Adalah kemarin ketika saya pulang kampung, ibu saya bergumam di depan saya, yang setelah saya translate (Anda jangan berpikiran kalau Ibu saya berbahasa inggris :D ), kira-kira bunyinya seperti ini, ”Saya kok bingung, orang seperti apa sih di zaman sekarang yang layak dikatakan baik. Kok serba susah. Yang ini katanya baik, tapi ada yang membenci. Yang itu mengaku baik, tapi juga ada yang memaki. Serba salah. Jadi ingin tahu, orang yang benar-benar baik itu seperti apa.”
Saya tersenyum, tapi tak menjawab.
Ah, terkadang pertanyaan sederhana yang terlontar dari orang yang hanya menenggak pendidikan SR (Sekolah Rakyat) semacam ibu saya ini sedikit membuat saya tergagap. Bagi saya, pertanyaan elegan yang membelesak keluar secara tiba-tiba itu terasa begitu menohok. Waktu itu saya hanya bisa berkata dalam hati: orang baik itu ya seperti saya. Hahaha, saya bergurau.
Ingatan saya langsung melambung ke masa lalu, ketika saya masih sekolah di madrasah (SD) dulu. Ketika itu saya mengambil penghapus papan tulis, dan mengangkatnya di depan gerumulan teman sekelas saya, kemudian saya bertanya kepada mereka, ”Penghapus ini besar atau kecil?”. Sebagian besar menjawab: kecil!, namun satu dua orang menjawab besar. Kok berbeda? Yah, mudah saja, karena tidak ada parameter yang pasti.
Jawaban yang sama mungkin juga berlaku pada pertanyaan Ibu di atas. Bahwa sebagian besar masyarakat kita ini, setidaknya telah kehilangan parameter. Jangankan untuk menilai baik dan buruk, terkadang halal dan haram saja seolah tersamar. Dunia yang sudah sepuh ini pun seolah-olah terlampau pikun untuk menunjuk siapa yang salah dan siapa yang benar. Alhasil, kebaikan dan keburukan tak jarang hanya dinilai berdasarkan dalih manfaat. Dan yang lebih menyedihkan, seperti di negeri tempat bersarangnya burung garuda ini, ketika ”kebenaran” juga bisa direbut dengan segebok budget.
Sejenak mari kuajak jalan-jalan di kota tempat tinggal saya, Kota Surabaya. Di sana, terdapat sebuah gang yang secara khusus digunakan untuk transaksi jual beli daging. Namanya Gang Dolli, yang kemudian saya lebih suka menyebutnya Dolliwood. Tempat ini lantas menjadi ”halal” karena menjadi salah satu penghasil pajak terbesar bagi negara. Mau dibubarkan? Ngapain wong sudah ”halal”, kan juga banyak manfaatnya. Setidaknya haramnya bisa ”dinetralisir” dengan disumbangkan untuk membangun negara. Oh, untuk Masjid juga.
Atau, Anda juga bisa melihat praktik hukum di negeri ini, yang dengannya bahkan kita sering dibuat pusing dengan istilah “keadilan”.
Belum habis perkara, ketika saat ini masyarakat ramai-ramai fasih menyetir dalil demokrasi, maka semua perkara menjadi serba fleksibel. Semuanya bisa ditawar, dimusyawarahkan, dan divoting! Porno boleh atau tidak? Tunggu dulu, ini negara hukum, kita musyawarahkan dulu, akan ada ”ahlinya” untuk menggodok UU Pornografi.] Majalah Play boy? Itu cuma estetika bung, Anda tidak faham karena bukan orang seni.] Ngebor? Yah, kan itu hak asasi manusia, mereka juga bekerja, mencari nafkah buat keluarga.] Aa Gym Poligami tuh! Nah, itu baru isu nasional, itu baru menyalahi adab!] Syari’ah? Hati-hati, itu mengancam ideologi Negara, merongrong NKRI!
Astaghfirullah...
Jungkir balik! Serba tumpang tindih, serba campur aduk. Sebenarnya semua itu mudah saja ditengarai sebab musababnya. Pangkal masalahnya sebenarnya hanya pada Kapitalisme, yakni ketika parameter hukum dilihat dari asas manfaat, asas untung-rugi. Dusta kalau mereka bicara seni, bohong jika mereka bicara HAM. Bullshit! Karena kepentingan mereka hanya meraup keuntungan semata-mata. Hingga estetika buta terhadap etika. Dan semuanya akan selalu begitu, selama agama demokrasi masih saja diimani.
Lalu, harus bagaimana?
Tidak usah bingung, tidak usah linglung. Pun perdebatan yang membabi buta juga tidak akan membawa kepada tuntasnya permasalahan. Malah justru membuat kita terperangkap dalam jebakan intelektual.
Ngomong soal asas, ngobrol soal koridor, kita sepakati dulu bahwa kita adalah Muslim (Ini bagi yang Muslim, insya Allah di lain kesempatan saya akan bicarakan yang non-Muslim). Ini satu-satunya syarat untuk menemukan parameter yang jelas, sebelum kemudian kita kembalikan permasalahan ini kepada Allah dan Rasul-Nya. Begitulah, seperti apa yang termaktub dalam QS.An-Nisaa’: 59, ”...Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al-Qur’an) dan Rasul (Sunnah), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian.”
Dengarkan baik-baik...
Allah SWT berfirman: ”Sesungguhnya Kami telah menurunkan Kitab kepadamu dengan membawa kebenaran, supaya kamu mengadili antara manusia dengan apa yang telah Allah wahyukan kepadamu, dan janganlah kamu menjadi penantang (orang yang tidak bersalah), karena (membela) orang-orang yang khianat.” [QS.An-Nisaa’: 105].
Allah SWT juga beriman: ”Tidak ada hukum kecuali hanya milik Allah.” [QS. Yusuf: 40]
Sementara Rasulullah SAW telah bersabda: ”Tidaklah beriman salah seorang di antara kamu! Sehingga menjadikan saya sebagai (standart) akalnya, yang digunakan untuk berfikir.” (Lihat, Muhammad Hussayn, Mafahim, 91)
Kemudian Kaidah Syara’ juga angkat bicara: ”Hukum asal perbuatan manusia adalah terikat dengan hukum Allah SWT.” (Lihat, Hafidz Abdurrahman, Islam Politik & Spiritual, 68)
Saya kira dalil di atas sudah sangat gamblang. Sehingga tidak perlu lagi saya terangkan. Intinya, hukum perbuatan apapun harus bermuara kepada Syariat Islam. Maka dengan demikian, kita tidak boleh berkutik untuk berkhianat kepada hukum Allah, apapun alasannya, apapun motifnya. Karena konsekuensinya pun juga jelas: Kalau tidak Kafir, ya Dhalim. Dan kalau tidak keduanya, maka ia fasik [QS.Al-Maidah: 44; 45; 47].
”Kenapa sih Allah ngatur-ngatur urusan dunia, bukannya masalah keakhiratan saja?” Pertanyaan setara murid Sekolah Dasar tersebut cukuplah dijawab dengan pelajaran sewaktu Sekolah Dasar pula: Bahwa bukankah kita meyakini bahwa Allah adalah yang Maha Adil? Lagi pula, kalau hukum itu diserahkan kepada manusia, maka bisa dipastikan akan dibuat sesuai dengan kepentingan nafsu manusia. Dan tentu hal itu akan menimbulkan kekacauan.
Awal-awal kuliah dulu saya pernah ditohok oleh seseorang, tentang permasalahan yang serupa. Dia berkata, ”Kalau tetap ngotot mau nerapin Syariat, ya jangan hidup di Indonesia!” katanya. Anehnya, yang mengatakan seperti itu adalah seseorang yang notabene beragama Islam. Sebuah paradoks. Karenanya, saya hanya menjawab, ”Kalau tidak mau Syariat, ya pergi saja dari bumi Allah.” Terkesan lugu, tapi memang begitu adanya.
Nah, kembali kepada pertanyaan Ibu saya. Siapakah yang layak disebut sebagai yang terbaik? Maka Allah SWT memberikan parameter sebagai berikut:
Allah SWT berfirman, ”Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma'ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah.” [QS.Ali Imran: 110].
Jelas bukan? Bahwa kriteria yang terbaik itu, satu, mereka yang menyeru kepada yang ma’ruf, dengan kata lain aktif mengemban risalah dakwah. Dan kedua, adalah mereka yang mencegah kemungkaran. Dalam satu Hadits, mencegah kemungkaran dengan tangan, kalau tidak mampu maka dengan lisan, atau sekurang-kurangnya dengan hati. Itupun disebut sebagai selemah-lemahnya iman. Nah, lantas bagaimana bagi mereka yang apatis terhadap maksiat dan biasa berhujjah, ”Biarkan aja, suka-suka mereka, kan nggak merugikan kita...”?
Maka Rasulullah SAW belasan abad yang lalu sudah bicara, ”Demi Dzat yang jiwaku ada di tangan-Nya, kalian harus benar-benar memerintahkan yang ma’ruf dan mencegah yang mungkar. ATAU KALAU TIDAK, niscaya Allah akan menurunkan adzab dari sisi-Nya atas kalian. Kemudian (jika) kalian berdoa, maka Allah tidak akan mengabulkan doa kalian!” [HR. Ahmad]
Hm, bagaimana pula dengan suatu negara yang membiarkan, atau justru memberikan fasilitas untuk bermaksiat? Maka inilah dalilnya, ”Tidaklah riba dan zina merajalela di suatu bangsa, melainkan bangsa itu telah menghalalkan dirinya untuk menerima adzab Allah ’Azza Wajalla.” [HR. Ahmad]
Banyak celetukan yang saya dengar, ”Ah, kan yang bermaksiat itu mereka, bukan kita. Nah yang mesti kena adzab ya mereka...”. Hh, terus terang saya sudah kehabisan bicara. Hanya saja, apa iya adzab Allah itu akan menimpa [hanya] kepada orang yang dzalim saja?
Kawan, mari kita sama-sama beristighfar, kemudian membuka kembali Al-Qur’an kita. Kita resapi, kita renungkan..... ”Dan peliharalah dirimu dari siksaan yang tidak khusus menimpa orang-orang yang dzalim saja di antara kamu. Dan ketahuilah bahwa Allah amat keras siksa-Nya.” [QS. Al-Anfal: 25].
Wallahu a’lam bish-Shawab.
Jika Anda menyukai Artikel di blog ini, Silahkan
klik disini untuk berlangganan gratis via email, dengan begitu Anda akan mendapat kiriman artikel setiap ada artikel yang terbit di Blog Indahnya Berbagi
0 komentar:
Posting Komentar