
Dan inilah awalnya. Aku tak tahu persis bagaimana kejadiannya, tiba-tiba saja teman-teman menjodoh-jodohkan dia denganku. Kesalahanku, mungkin, karena aku selalu menjadi sekretarisnya, baik di OSIS, di kegiatan Rohis, sampai di kelas 2 IPA yang sama. Inilah yang mengharuskan kami terlihat sering menjalin komunikasi, meski mereka pun mengerti keperluan kami hanya untuk koordinasi.
Hingga tibalah saatnya selesai jam sekolah, satu peristiwa menjengkelkan yang sekaligus, astaghfirullah, sempat membuat hatiku berkembang. Aku ’dijebak’ oleh teman-temanku di saat sebelum Kajian Rutin mingguan di Musholla-sekolah akan dilaksanakan. Tiba-tiba aku disuruhnya mereka untuk segera ke Musholla, ada yang mau dibicarakan dengan ketua, katanya. Tentu hal serupa disampaikan pula kepada ketuaku itu. Apesnya, tidak ada yang mau menemaniku untuk menemuinya. Maka berdualah aku dan dia di dalam, dan kami sama-sama bingung karena saling tak merasa ada keperluan.
Cepat saja kejadiannya, tiba-tiba teman-teman sudah berada di pintu sambil berdehem dan tertawa, kudengar dalam satu komando mereka menggoda ke arah duduk kami berdua,
”Firdaus, Nadia, selamat ya.. Ehm, ehm..”
Jelas-jelas aku dongkol dibuatnya. Namun entah dari mana setan itu datangnya, tanpa sadar aku dan dia saling mencuri-curi lirik. Tak terhitung detik rasanya, tetapi arah pandang kami bertemu dalam satu waktu, dan seketika itu pula suasana ’aneh’ membawa kami sama-sama berpaling sambil tersenyum tertahan.
***
”Ukhti, afwan, untuk masalah tempat sudah clear,” kelak ucapnya kepadaku ketika ia menjadi ketua Rohis di kampus. Aku dan dia kembali satu almamater. Dan lagi-lagi aku menjadi sekretarisnya.
Semakin dewasa usia di antara kami tentu membuat kami semakin menjaga diri satu sama lain, tentang pergaulan antar ikhwan dan akhwat. Lagi pula kami semakin mengerti karena seringnya menghadiri kajian Islami, juga posisi kami sebagai musyrif atau murobbi untuk membimbing adik-adik mahasiswa dan mahasiswi. Maka jelaslah aku khawatir akan mengotori dakwah ini, lebih bahayanya lagi jika kami terkena ancaman ayat ’kaburo maqtan ’indaLlahi’. Ya, kebencian besar di sisi Allah, mengatakan apa yang tidak kita kerjakan sendiri.
Maka jika hanya ada keperluan yang menyangkut organisasi kami menjalin komunikasi. Itupun dengan konteks yang terbatasi. Lantas dengan begitu apa kemudian menjadi aman? Untuk menjaga diri mungkin iya, tapi untuk memastikan benar-benar aman, kurasa tidak. Bagaimanapun kuakui di antara kami memang ada hati, aku tak mungkin membohongi diri terkait perasaan ini. Dan bukankah perasaan semacam itu memang bagian dari naluri?
Demi Allah, aku memang tidak ada niat sama sekali untuk menampakkan perasaan ini kepadanya, lebih-lebih dengan aktivitas-aktivitas yang tak syar’i. Bagaimanapun aku harus tahu diri karena di antara kami memang bukan mahram. Tetapi masya Allah, bahkan untuk komunikasi hal yang wajar pun, baik lewat SMS, lebih-lebih saat bertemu langsung, rasa-rasanya selalu ada yang berdesir dalam hati. Ada sesuatu yang menghembus, ada yang menghidupkan degub halus. Ah yaa, ampuni kekhilafan hamba yang lemah ini, ya Allah, yang tiada daya menepis rasa syubhat ini. Kulafadz berkali-kali kalimat istighfar setiap kali peristiwa itu terjadi.
Alhamdulillah sekian lama cobaan itu bisa aku lalui, hingga tak terasa aku sudah semester tujuh. Namun ada yang mengejutkan menjelang akhir semester ini. Tiba-tiba, tiada angin tiada hujan, Firdaus menghubungiku. Ada sesuatu yang ingin dia sampaikan, katanya di seberang sana. Ketika itu dia meneleponku. Dari kesan bicaranya aku sudah menyimpan firasat, dan benarlah ia menyampaikan satu kalimat yang cukup singkat,
”Bersediakah Anti menikah dengan ana?”
Tuh kan, aku malah tak bisa menjawab kalimat itu, meski di awal aku sudah mengira bahwa ia akan menyampaikan hal itu. Lama aku terbungkam, maka dengan suara terserak kusuruhnya saja datang ke waliku jika ia benar-benar menginginkanku.
Seminggu setelah itu ia memang datang ke waliku. Kepada kedua orang tuaku ia menyampaikan maksudnya. Ibu mempertanyakan kesediaanku. Aku yang duduk berada di samping Ibu hanya bisa menunduk diam. Maka Ibu mengusap pipiku, dan hangat dirasa air mataku di tangannya. Kemudian beliau beralih kepada Firdaus,
”Nadia bersedia. Insya Allah kami sebagai orang tua merestui. Maunya Nak Firdaus kapan akad nikah dilangsungkan?”, tanya Ibu.
Ada raut yang berbeda di wajah Firdaus, ”Maaf sebelumnya, Bu, Bapak, sudah saya bicarakan sebelumnya dengan keluarga, dan mereka mengizinkan setelah lulus kuliah.”
Deg! Setelah lulus kuliah? Itu artinya harus menunggu satu semester lagi! Bagaimana mungkin menunggu selama itu? Maka barulah aku beranikan bersuara,
”Afwan, Akhi, bukankah waktu senggang yang terlalu lama itu kurang baik? Sekali lagi afwan, bukan ana ingin terburu-buru, tetapi jarak menunggu yang terlalu lama memang sangat rentan dengan godaan setan. Antum mestilah sudah faham, bahwa tabiat setan selalu berusaha mencegah jalan yang halal.” Aku berkata tanpa berani menatapnya.
”Insya Allah,” jawabnya, ”Insya Allah tidak akan menjadi masalah, selama dalam waktu itu kita bisa menjaga diri. Tidak ada komunikasi, kecuali jika ada sesuatu yang teramat penting dan syar’i. Kita sama-sama menyelesaikan studi kita, sambil kita mempersiapkan diri.”
Mempersiapkan diri? Apa maksudnya? Apa ia datang ke sini dengan tanpa persiapan diri, atau baru berproses menyiapkan diri, hingga orang tuanya pun belum memberikan kepercayaan dan baru mengizinkan setelah kuliah selesai? Aku hanya khawatir, apa yang ia lakukan saat ini hanya kenekadan saja ketika dirinya dilanda kekhawatiran kehilangan seseorang. Ah, tetapi wallahu a’lam, orang tuaku memang cenderung sependapat dengan Firdaus. Maka aku iyakan saja. Sebab penjelasanku mungkin dirasa terlalu berat, atau dianggap tidak seperti orang kebanyakan dengan memunculkan kesan sikap terburu-buru? Wajar, mungkin, karena kedua orang tuaku memang kurang pemahaman tentang hal itu.
Maka saksikanlah, di sini tempatnya ketika kami membuat perjanjian dan kesepakatan.
***
Seperti biasa, waktu berjalan sesuai koridornya. Beberapa waktu setelah aku dikhitbah membuat kehidupan kuliahku kembali normal seperti biasanya. Tak ada yang istimewa. Lagi pula di semester akhir ini aku harus fokus menyelesaikan tugas skripsi, sibuk dengan penelitian-penelitian. Sementara di sela-sela itu adik-adik mahasiswi di asrama seringkali menggodaku, tentang apa lagi kalau tidak masalah khitbahku.
Sebenarnya itu salah satu yang aku khawatirkan, ketika di senggang waktu antara khitbah dan akad nikah yang terlalu lama akan menimbulkan fitnah. Tentu bukan hanya itu, ada kekhawatiran-kekhawatiran lain yang terus saja menghantui. Entah tentang apa lagi.
Hingga akhir bulan ke empat semester ini aku sudah merampungkan semua tugas-tugas kuliahku. Alhamdulillah, Cum laude. Hanya tinggal menunggu wisuda. Dan aku bisa berpaling pada persiapan pernikahanku.
Maka di waktu yang terasa melegakan ini, aku memberanikan diri untuk menghubungi Firdaus. Aku kirim SMS untuknya, kumulai dengan menanyakan kabar dirinya, penyelesaian skripsinya, kemudian tentang persiapan pernikahan kita. Alhamdulillah, baik, katanya. Ia juga menyampaikan bahwa dirinya mendapat nilai sangat memuaskan. Namun di saat kubaca SMS yang selanjutnya, ada kalimat yang membuat air mataku tumpah seluruhnya.
...Dengan menyebut nama Allah, atas ketidak-berdayaan ini, kerena Dialah yang Maha membolak-balikkan hati. Afwan sebelumnya, bukan maksud ana untuk menyakiti, karena ana yakin Anti juga sudah sama-sama memahami, bahwa selama seseorang itu belum dilaksanakan akad, itu artinya masih memungkinkan bagi mereka untuk menentukan pilihan kembali. Maka dari itu, ana mohon kepada Anti untuk memberikan waktu bagi ana untuk melakukan istikharah. Afwan wa Syukron.
Berderai aku membaca kalimat itu, lunglai seketika aku membacanya hingga ponsel hampir-hampir lepas dan terjatuh dari genggamanku. Ternyata di tengah jalan ia menemukan ketertarikan kembali pada seorang akhwat lain kampus. Aku ingin menangis menjerit, tapi tak mungkin aku lakukan karena berada dalam asrama bersama adik-adik mahasiswi. Aku hanya duduk tersungkur di sudut kamar sambil memeluk lutut, dan kutelungkupkan mukaku di pelukan untuk melampiaskan semua rasa hati.
Dan benarlah, perkataan maaf itu berbuah keputusan terpilihnya akhwat itu. Firdaus pun memintaku untuk menyampaikan permohonan maaf kepada kedua orang tuaku, meski pada akhirnya aku tak berani menyampaikan pesannya.
Beberapa hari aku hanya bisa meratapi diri, menangis tersendat dalam sujud di saat tenggelam oleh gelapnya malam hari, dan sehari-hari pun aku menjadi lebih suka menyendiri. Maka di waktu tahajjud ini, setelah melakukan sholat beberapa rakaat kubuka laptop untuk menghibur diri. Kubuka e-mail, dan kudapat satu inbox baru. Dari teman sebangkuku waktu SMA dulu, Abigai.
Assalamu’alaikum, Ukhti, gimana kabarnya? Lama gak ketemu, rinduuu rasanya. Hehehe. Jangan kaget lho, ana sekarang sudah ngaji juga. Gak mau kalah dong sama Anti yang lebih dulu berkerudung lebar itu. Hehehe. Alhamdulillah, akhirnya ana sadar juga ya? :D
Oh, denger-denger Cum laude nih? Hm, senangnyaa.. Traktiran dong? Hehe.. Alhamdulillah, kebetulan nilaiku juga cukup memuaskan, meski dari dulu ana tidak bisa mengejar kepandaian Anti.
Ukhti, afwan sebelumnya, ada sesuatu yang hendak ana sampaikan. Afwan juga karena ana baru mengetahui ceritanya lewat teman ana yang sekampus sama Anti, tapi ana kira ini belum terlalu terlambat.
Firdaus, ketika itu dia menyatakan khitbahnya pada ana setelah dia mengetahui bahwa ana sudah berubah. Ana tak tahu kalau hal itu dilakukannya setelah dia melakukan istikharah. Yang mengejutkan, ternyata sebelumnya dia sudah ada status mengkhitbah seseorang, yaitu Anti, teman yang pernah sebangku dengan ana sendiri, yang sudah ana anggap saudara sendiri. Di sinilah ana merasa sangat bersalah telah menerima khitbahnya. Karena itu, ana memilih untuk mengundurkan diri dari khitbahnya, dan ana sudah sampaikan hal ini kepadanya.
Ana lebih mengharap cinta kepada Allah ketimbang sekedar cinta dari manusia, bahwa ana lebih takut melakukan hal yang diharamkan Allah dengan melampaui hak saudaranya. Sekalipun Firdaus pada akhirnya membatalkan khitbahnya pada Anti, tetapi ana tahu bahwa ia sudah membuat kesepakatan dan janji. Maaf atas kekhilafan saudaramu ini, Ukhti. Sama sekali ana tidak ada maksud membuat Anti menghadapi masalah sepelik ini. Ini benar-benar terjadi tanpa kesengajaan. Maka seketika kemarin ana sampaikan kepada Firdaus untuk tetap dalam janjinya kepada Anti. Dan untuk selanjutnya, ana serahkan kepada Anti, karena semuanya tergantung hak Anti sendiri.
Mungkin cukup sekian dari apa yang ana perlu sampaikan. Sekali lagi ana minta maaf atas segala khilaf, dan terima kasih atas perhatian dan keikhlasannya. Wassalamu’alaikum.
Aku benar-benar merasa lega sesudah membaca e-mail itu. Bukan karena Abigai, teman sebangkuku, saudaraku itu, membatalkan ikatannya dengan Firdaus, namun lebih kepada kabar gembira bahwa ia sudah benar-benar berubah. Tak sabar melihat kecantikannya ketika ia memakai kerudung lebar. Dulu di SMA dia tak pernah mau kusuruh memakai kerudung, ia lebih suka menjulurkan rambut panjangnya yang terurai indah.
Kurasa dia adalah perempuan yang paling cantik di sekolah kami dulu. Bukan hanya aku yang berkata seperti itu, tetapi hampir semua mengakui kecantikannya. Meski terkadang teman-teman menilai bahwa kemiripan antara aku dan Abigai seperti saudara kandung, tapi tetap saja, ia lebih cantik, lebih tinggi, dan lebih putih kulitnya dariku.
Sedangkan Firdaus, pagi itu dia mengirimkan SMS kepadaku. Sesuai dengan apa yang disampaikan oleh Abigai, ia memang menyampaikan maksud untuk ’kembali’ kepadaku. Aku, yang berhati perempuan, sama sekali belum bisa melupakan peristiwa itu. Apa yang ada dalam pikirnya?, tanyaku. Kalau benar kembalinya hanya untuk mengasihi diriku, maka aku tak pernah berharap untuk dikasihinya. Bukan aku seorang pendendam, tetapi aku, yang berhati perempuan, memang tak mudah untuk menerima sikap itu. Maafnya memang berusaha kumaafkan, tapi satu hal yang tak bisa lagi kulakukan. Maka kupersilahkan dirinya untuk mencari yang lebih dari yang ia pinta. Dariku, untaian maafku, karena aku bukan Cleopatra. []
* Keseluruhan isi cerpen ini fiktif belaka, namun terinspirasi dari kisah nyata.
http://ahsanhakim.blogspot.com/
Jika Anda menyukai Artikel di blog ini, Silahkan
klik disini untuk berlangganan gratis via email, dengan begitu Anda akan mendapat kiriman artikel setiap ada artikel yang terbit di Blog Indahnya Berbagi
0 komentar:
Posting Komentar