by Ahsan Hakim
Di tengah skripsi mulai tak terlihat seksi saya menulis artikel ini. Di tengah kisruh wacana pluralisme telah digulirkan kembali. Saking gemasnya, maka tanpa berpikir panjang saya ’lempar’ saja tumpukan print-out skripsi, dan jadilah saya menyempatkan waktu untuk mendamprat pemahaman yang selama ini dipelintir-pelintir hingga tidak jelas lagi untuk diikuti.
Memang tidak bisa dipungkiri, kita ini, terjebak pada ranah intelektual. Hingga tidak sadar kita saat ini telah dicoba diombang-ambingkan seputar wilayah definisi. Bagi mereka yang ikhlas menggali kebenaran, mereka akan ’legowo’ menerima Al-Qur’an dan As-Sunnah sebagai sandaran argumentasi. Namun bagi mereka yang bebal, yang merasa mapan berada pada ”zona nyaman”, lebih-lebih yang sarat dengan kepentingan, maka Al-Qur’an dan As-Sunnah seolah-olah hanya difungsikan sebagai ”tafsir” dan diperalat untuk mendukung definisi abal-abal yang telah diadopsi. Maka, kita termasuk golongan yang mana?
Sebelumnya mohon maaf jika tulisan saya ini terkesan agak norak dan tidak begitu rapi. Memang sengaja saya tulis dengan tempo agak cepat agar skripsi saya segera tertangani kembali. Baiklah, saya kira basa-basi ini tidak begitu penting bagi Anda. Maaf, saya semakin ngelantur jadinya.
Wacana pluralisme dalam beberapa waktu lalu memang baru banyak disuarakan oleh ’pion-pion’ lokal, namun kemudian beberapa ’pentolan’ luar pun mulai turun gunung dan angkat bicara. Sebut saja Franz Magnis Suseno, rohaniawan Jesuit kelahiran Eckersdorf-Jerman sekaligus guru besar Sekolah Tinggi Filsafat Driyakarya ini berusaha mengaburkan definisi pluralisme agama dengan cara menceraikannya dengan paham relativisme dan mencoba menggiring pemahaman sebagai makna toleransi. Seperti yang ditulisnya dalam salah satu harian ibukota, ”Hanya seorang pluralis sejati yang toleran.” Pernyataan ini seolah-olah menyiratkan bahwa yang tidak pluralis berarti tidak toleran. (Lihat, Dr. Syamduddin Arif, Orientalis & Diabolisme Pemikiran, 80).
Buntut-buntutnya, tidak jarang kalangan yang mengatas-namakan dirinya kaum intelektual Muslim yang terkenal kritis terhadap ulama’-ulama’ Islam dengan mudahnya menenggak pemahaman semacam ulama’ pendeta tersebut tanpa terlebih dulu dipamah dan dikunyah!
Bahwa terdapat bermacam-macam agama di muka bumi ini adalah fakta yang tidak terlelakkan. Namun masalahnya, bagaimana seharusnya penyikapan terhadap pluralitas itu dilakukan. Dalam pemahaman Islam, seorang Muslim harus selalu dituntut keseimbangan dan kewajaran dalam beraqidah, beribadah, dan bermu’amalah. Umat Muslim diwajibkan berjihad, tetapi di sisi lain juga diperintahkan untuk menebar kedamaian. Saling menghormati dan toleransi kepada pemeluk agama lain diharuskan, namun dakwah kepada mereka juga diwajibkan. Kepada non-muslim yang ’lurus’ (ahli dzimmah) wajib diberikan perlindungan, tetapi bagi mereka yang berkhianat dan justru memusuhi Islam dan kaum Muslimin maka mereka harus diberikan ’kejutan’. Inilah aturan mainnya, sehingga ’peaceful coexistence’ akan dapat terwujud. Dan jika hal ini dilanggar maka bola salju konflik akan terus bergulir dan menjadi sulit untuk dihindari.
Sedangkan pluralisme, tidak akan terlepas dari paham relativisme. Sekilas memang terkesan ’baik’, apalagi tujuannya dikatakan untuk menemukan ’common platform’ demi terwujudnya kerukunan antar umat beragama. Tapi lihatlah, mereka bahkan tidak nyadar kalau dirinya nyasar, mereka berpendapat bahwa semua agama adalah sama benarnya, tidak diperkenankan memonopoli kebenaran agama tertentu. Mereka beranggapan semua agama mewakili kebenaran yang sama, meskipun ’porsi’ dan ’resepnya’ berbeda. Maka mengerucutlah pada paham inklusivisme, yang mengatakan bahwa semuanya menjanjikan keselamatan, karena jalan menuju Tuhan itu bermacam-macam. Itu artinya, agama Anda bukan satu-satunya jalan keselamatan. Alhasil, menganggap penganut agama lain akan masuk ke dalam api neraka seolah-olah telah ’diharamkan’.
Orang-orang model begitu itu, oleh Dr. Syamsuddin Arif dikatakan ”lugu karena memegang pisau bukan pada gagangnya, tetapi badannya”. Bagaimana tidak dikatakan lugu, katakanlah orang Kristen mengaku benar dengan agamanya dan menyalahkan agama yang lainnya, silakan. Biarlah orang Kristen berkeyakinan bahwa mereka akan masuk surganya Kristen sementara umat Muslim akan masuk nerakanya Kristen, no problem. Tapi sebaliknya biarlah kita umat Muslim berkeyakinan akan masuk Surganya Islam, sementara orang-orang Kristen akan masuk Nerakanya Islam. Beres! Lalu mengapa harus dengan melakukan akrobat intelektual? Padahal kalau hanya berhasrat ingin dikatakan ’bijak’, ada ungkapan lain yang masih bisa digali: Okelah semua agama itu baik, tapi tidak semuanya benar.
Pembicaraan selanjutnya yang sering didengung-dengungkan adalah kekhawatiran jika suatu negara diberlakukan Syariat Islam, maka toleransi ditakutkan akan terhapus dari peredaran. Secara tidak langsung, kekhawatiran tersebut sebenarnya diam-diam telah menyiratkan tuduhan bahwa Islam adalah agama bar-bar lagi otoritarian yang tidak mengenal istilah toleran. Tapi tak mengapa, kita harus mengedepankan ’husnudzon’ bahwa orang-orang semacam itu masih belum faham. Karenanya, kita harus main perasaan. Dan tentunya, dakwah jangan sekali-kali diremehkan.
Jadi, ketika negara memberlakukan Syariat Islam, justru non-muslim akan diberikan ’kebebasan’. Artinya, tidak ada paksaan untuk memeluk agama Islam. Demikian seperti yang dicontohkan oleh Rasulullah saw. dalam Daulah Islam. Allah SWT berfirman,
”Tidak ada paksaan dalam agama” [QS. Al-Baqarah: 256]
Silakan, silakan mereka setia seiya sekata dengan agamanya, karena Islam pun telah mempersilahkan,
”Bagimu agamamu, dan bagiku agamaku” [QS. Al-Kafiruun: 6]
Bahkan bila perlu, ketika mereka berada dalam Daulah Islam, mereka bisa mengusulkan semacam ”perda” untuk memberlakukan sangsi bagi jemaatnya yang membelot dari ritual ibadahnya, yang di saat hari minggu tidak berangkat ke gereja malah justru ke pantai untuk melakukan ritual gendaan (pacaran).
Dalam hal ini, dalam masalah keyakinan Islam telah memberikan kelonggaran. Allah SWT berfirman,
”Dan jikalau Tuhanmu menghendaki, tentulah beriman semua orang yang di muka bumi seluruhnya. Maka apakah kamu hendak memaksa manusia supaya mereka menjadi orang-orang yang beriman semuanya?” [QS. Yunus: 99]
Sekali lagi, Islam memberikan kelonggaran dalam masalah keyakinan. Ketika umat kristen mempunyai keyakinan bahwa babi adalah ”halal”, maka babi boleh mereka makan. Meski kemudian mereka harus mengecek ulang ”kehalalan” babi dalam PL Imamat 11:7. Lalu dalam hal berpakaian, tidak kemudian mereka dipaksa meyakini wajibnya perintah memakai jilbab dan kerudung apalagi cadar, hanya saja mereka diperintahkan untuk saling mengerti dan menghormati ”adab kesopanan” dalam berpakaian.
Lain halnya dalam hal mu’amalah (hukum), mereka dituntut untuk tunduk kepada Syariat Islam. Sangat wajar kenapa demikian, Islam telah mengatur segala urusan sedangkan dalam agama mereka tidak. Aturan dalam Islam itu sangat kompleks [QS.Al-Maidah: 5], dan telah terbukti dalam sejarahnya membuahkan keadilan pada aspek kehidupan. Maka tidak ada yang perlu dirisaukan, karena Rasulullah pun pernah berkata bahwa, sesiapa yang menyakiti Dzimmi, maka sama halnya menyakiti diriku.
Nah, muncul persoalan. Bagaimana dengan Ahmadiyah? Bukankah mereka juga butuh kebebasan berkeyakinan?
Kawan, dengan pertanyaan itu sebenarnya dirimu telah mengingatkanku pada peristiwa beberapa hari yang lalu. Saya kena tilang di depan kantor polisi Lamongan sepulang dari Surabaya gara-gara kaca spion saya hilang satu. Apes! Tapi bukan itu masalahnya yang ingin saya bicarakan. Saya hanya mengajak Anda berandai-andai, jika ada polisi gadungan berseragam lengkap, petentang-petenteng dan mengaku-ngaku dari kepolisian, lalu Anda kena tilang di jalan, maka apa yang Anda lakukan?
Lalu jika ada yang mengaku Islam, tetapi Islam gadungan karena tidak meyakini Nabi Muhammad saw. yang terakhir sebagai seorang utusan, maka ini namanya perbedaan ataukah penyesatan? Maka, proporsionallah dalam berbicara konsep toleran, juga dalam melakukan pembelaan, jangan kemudian justru terperangkap dalam lingkaran setan.
Akhirnya dari saya, salam perdamaian! []
Memang tidak bisa dipungkiri, kita ini, terjebak pada ranah intelektual. Hingga tidak sadar kita saat ini telah dicoba diombang-ambingkan seputar wilayah definisi. Bagi mereka yang ikhlas menggali kebenaran, mereka akan ’legowo’ menerima Al-Qur’an dan As-Sunnah sebagai sandaran argumentasi. Namun bagi mereka yang bebal, yang merasa mapan berada pada ”zona nyaman”, lebih-lebih yang sarat dengan kepentingan, maka Al-Qur’an dan As-Sunnah seolah-olah hanya difungsikan sebagai ”tafsir” dan diperalat untuk mendukung definisi abal-abal yang telah diadopsi. Maka, kita termasuk golongan yang mana?
Sebelumnya mohon maaf jika tulisan saya ini terkesan agak norak dan tidak begitu rapi. Memang sengaja saya tulis dengan tempo agak cepat agar skripsi saya segera tertangani kembali. Baiklah, saya kira basa-basi ini tidak begitu penting bagi Anda. Maaf, saya semakin ngelantur jadinya.
Wacana pluralisme dalam beberapa waktu lalu memang baru banyak disuarakan oleh ’pion-pion’ lokal, namun kemudian beberapa ’pentolan’ luar pun mulai turun gunung dan angkat bicara. Sebut saja Franz Magnis Suseno, rohaniawan Jesuit kelahiran Eckersdorf-Jerman sekaligus guru besar Sekolah Tinggi Filsafat Driyakarya ini berusaha mengaburkan definisi pluralisme agama dengan cara menceraikannya dengan paham relativisme dan mencoba menggiring pemahaman sebagai makna toleransi. Seperti yang ditulisnya dalam salah satu harian ibukota, ”Hanya seorang pluralis sejati yang toleran.” Pernyataan ini seolah-olah menyiratkan bahwa yang tidak pluralis berarti tidak toleran. (Lihat, Dr. Syamduddin Arif, Orientalis & Diabolisme Pemikiran, 80).
Buntut-buntutnya, tidak jarang kalangan yang mengatas-namakan dirinya kaum intelektual Muslim yang terkenal kritis terhadap ulama’-ulama’ Islam dengan mudahnya menenggak pemahaman semacam ulama’ pendeta tersebut tanpa terlebih dulu dipamah dan dikunyah!
Bahwa terdapat bermacam-macam agama di muka bumi ini adalah fakta yang tidak terlelakkan. Namun masalahnya, bagaimana seharusnya penyikapan terhadap pluralitas itu dilakukan. Dalam pemahaman Islam, seorang Muslim harus selalu dituntut keseimbangan dan kewajaran dalam beraqidah, beribadah, dan bermu’amalah. Umat Muslim diwajibkan berjihad, tetapi di sisi lain juga diperintahkan untuk menebar kedamaian. Saling menghormati dan toleransi kepada pemeluk agama lain diharuskan, namun dakwah kepada mereka juga diwajibkan. Kepada non-muslim yang ’lurus’ (ahli dzimmah) wajib diberikan perlindungan, tetapi bagi mereka yang berkhianat dan justru memusuhi Islam dan kaum Muslimin maka mereka harus diberikan ’kejutan’. Inilah aturan mainnya, sehingga ’peaceful coexistence’ akan dapat terwujud. Dan jika hal ini dilanggar maka bola salju konflik akan terus bergulir dan menjadi sulit untuk dihindari.
Sedangkan pluralisme, tidak akan terlepas dari paham relativisme. Sekilas memang terkesan ’baik’, apalagi tujuannya dikatakan untuk menemukan ’common platform’ demi terwujudnya kerukunan antar umat beragama. Tapi lihatlah, mereka bahkan tidak nyadar kalau dirinya nyasar, mereka berpendapat bahwa semua agama adalah sama benarnya, tidak diperkenankan memonopoli kebenaran agama tertentu. Mereka beranggapan semua agama mewakili kebenaran yang sama, meskipun ’porsi’ dan ’resepnya’ berbeda. Maka mengerucutlah pada paham inklusivisme, yang mengatakan bahwa semuanya menjanjikan keselamatan, karena jalan menuju Tuhan itu bermacam-macam. Itu artinya, agama Anda bukan satu-satunya jalan keselamatan. Alhasil, menganggap penganut agama lain akan masuk ke dalam api neraka seolah-olah telah ’diharamkan’.
Orang-orang model begitu itu, oleh Dr. Syamsuddin Arif dikatakan ”lugu karena memegang pisau bukan pada gagangnya, tetapi badannya”. Bagaimana tidak dikatakan lugu, katakanlah orang Kristen mengaku benar dengan agamanya dan menyalahkan agama yang lainnya, silakan. Biarlah orang Kristen berkeyakinan bahwa mereka akan masuk surganya Kristen sementara umat Muslim akan masuk nerakanya Kristen, no problem. Tapi sebaliknya biarlah kita umat Muslim berkeyakinan akan masuk Surganya Islam, sementara orang-orang Kristen akan masuk Nerakanya Islam. Beres! Lalu mengapa harus dengan melakukan akrobat intelektual? Padahal kalau hanya berhasrat ingin dikatakan ’bijak’, ada ungkapan lain yang masih bisa digali: Okelah semua agama itu baik, tapi tidak semuanya benar.
Pembicaraan selanjutnya yang sering didengung-dengungkan adalah kekhawatiran jika suatu negara diberlakukan Syariat Islam, maka toleransi ditakutkan akan terhapus dari peredaran. Secara tidak langsung, kekhawatiran tersebut sebenarnya diam-diam telah menyiratkan tuduhan bahwa Islam adalah agama bar-bar lagi otoritarian yang tidak mengenal istilah toleran. Tapi tak mengapa, kita harus mengedepankan ’husnudzon’ bahwa orang-orang semacam itu masih belum faham. Karenanya, kita harus main perasaan. Dan tentunya, dakwah jangan sekali-kali diremehkan.
Jadi, ketika negara memberlakukan Syariat Islam, justru non-muslim akan diberikan ’kebebasan’. Artinya, tidak ada paksaan untuk memeluk agama Islam. Demikian seperti yang dicontohkan oleh Rasulullah saw. dalam Daulah Islam. Allah SWT berfirman,
”Tidak ada paksaan dalam agama” [QS. Al-Baqarah: 256]
Silakan, silakan mereka setia seiya sekata dengan agamanya, karena Islam pun telah mempersilahkan,
”Bagimu agamamu, dan bagiku agamaku” [QS. Al-Kafiruun: 6]
Bahkan bila perlu, ketika mereka berada dalam Daulah Islam, mereka bisa mengusulkan semacam ”perda” untuk memberlakukan sangsi bagi jemaatnya yang membelot dari ritual ibadahnya, yang di saat hari minggu tidak berangkat ke gereja malah justru ke pantai untuk melakukan ritual gendaan (pacaran).
Dalam hal ini, dalam masalah keyakinan Islam telah memberikan kelonggaran. Allah SWT berfirman,
”Dan jikalau Tuhanmu menghendaki, tentulah beriman semua orang yang di muka bumi seluruhnya. Maka apakah kamu hendak memaksa manusia supaya mereka menjadi orang-orang yang beriman semuanya?” [QS. Yunus: 99]
Sekali lagi, Islam memberikan kelonggaran dalam masalah keyakinan. Ketika umat kristen mempunyai keyakinan bahwa babi adalah ”halal”, maka babi boleh mereka makan. Meski kemudian mereka harus mengecek ulang ”kehalalan” babi dalam PL Imamat 11:7. Lalu dalam hal berpakaian, tidak kemudian mereka dipaksa meyakini wajibnya perintah memakai jilbab dan kerudung apalagi cadar, hanya saja mereka diperintahkan untuk saling mengerti dan menghormati ”adab kesopanan” dalam berpakaian.
Lain halnya dalam hal mu’amalah (hukum), mereka dituntut untuk tunduk kepada Syariat Islam. Sangat wajar kenapa demikian, Islam telah mengatur segala urusan sedangkan dalam agama mereka tidak. Aturan dalam Islam itu sangat kompleks [QS.Al-Maidah: 5], dan telah terbukti dalam sejarahnya membuahkan keadilan pada aspek kehidupan. Maka tidak ada yang perlu dirisaukan, karena Rasulullah pun pernah berkata bahwa, sesiapa yang menyakiti Dzimmi, maka sama halnya menyakiti diriku.
Nah, muncul persoalan. Bagaimana dengan Ahmadiyah? Bukankah mereka juga butuh kebebasan berkeyakinan?
Kawan, dengan pertanyaan itu sebenarnya dirimu telah mengingatkanku pada peristiwa beberapa hari yang lalu. Saya kena tilang di depan kantor polisi Lamongan sepulang dari Surabaya gara-gara kaca spion saya hilang satu. Apes! Tapi bukan itu masalahnya yang ingin saya bicarakan. Saya hanya mengajak Anda berandai-andai, jika ada polisi gadungan berseragam lengkap, petentang-petenteng dan mengaku-ngaku dari kepolisian, lalu Anda kena tilang di jalan, maka apa yang Anda lakukan?
Lalu jika ada yang mengaku Islam, tetapi Islam gadungan karena tidak meyakini Nabi Muhammad saw. yang terakhir sebagai seorang utusan, maka ini namanya perbedaan ataukah penyesatan? Maka, proporsionallah dalam berbicara konsep toleran, juga dalam melakukan pembelaan, jangan kemudian justru terperangkap dalam lingkaran setan.
Akhirnya dari saya, salam perdamaian! []
Jika Anda menyukai Artikel di blog ini, Silahkan
klik disini untuk berlangganan gratis via email, dengan begitu Anda akan mendapat kiriman artikel setiap ada artikel yang terbit di Blog Indahnya Berbagi
0 komentar:
Posting Komentar