MEMBUNUH AZZAM (Bab terakhir yang tidak termuat dalam Novel KCB)
Seperti yang telah diceritakan sebelumnya, Azzam, memang mempunyai pendirian yang tidak bisa diganggu-gugat. Pagi ini, sehari setelah pernikahannya, dia harus meninggalkan Pesantren Wangen dan berpamitan pulang ke Sraten.
“Mas, kenapa harus buru-buru pulang sekarang?”, rajuk Anna.
“Sayang, kan sudah saya bilang saya harus membantu Husna membuat bakso.” Azzam menatapnya penuh cinta, “tidak lama kok, sesegera mungkin saya akan kembali.”
“Tapi Husna kan bisa membuat bakso sendiri Mas, atau bisa juga meminta bantu adiknya, Lia, jadi Mas Azzam tidak harus pulang sekarang kan?”
“Tapi Dik, saya kasihan Husna kalau harus mengerjakannya sendiri, sementara si Lia belum bisa membantu. Lha Lia masih ingusan begitu! Kamu tidak tahu sih Dik, Lia itu anaknya suka mencret-mencret!”
“Apa? Mencret? Jorok sekali ya, seperti Kakaknya. Hehehe” Canda Anna.
“Ya.. biar jorok tapi kan lulusan Al-Azhar. Sembilan tahun pula, hebat kan? Hiks hiks hiks.” Keduanya tertawa geli.
Sudah tidak menjadi rahasia umum, pengantin baru mestilah ada kesan istimewa, suasana yang berbeda. Pagi-pagi seperti ini misalnya, satu obrolan kecil bisa dibumbui dengan canda yang mengundang senyum dan tawa. Maka tidak heran jika sebelumnya para pujangga menyebutnya surga dunia.
“Dik,” Azzam melanjutkan, “lha terus piye? Diizinkan pulang nggak? Kasihan si Husna, besok itu ada pesanan banyak Dik, bakso lontong untuk kondangan sunatan. Bumbu-bumbunya di sana sudah mau habis, jadi saya juga harus belanja dulu. Saya harus beli tepung, daging, mie, bawang, dan oli.”
“Heh? Oli buat apa?” Anna heran.
“Masya Allah, oli kok buat apa, ya buat sepeda motor saya! Sudah setengah tahun tidak saya ganti olinya. Makanya bunyi knalpotnya jadi serak-serak basah. Wis, pokoknya begitu ya, saya harus pulang sekarang! Titik!”
“Ya sudah, Tafaddhal. Kulepas dirimu Kasih ...” puitis Anna, “kalo nyasar balik lagi ...”
“Oo... syairnya wong edan!” Batin Azzam.
***
“Bah, saya mau pamit pulang.”
“Lho, Nak Azzam baru sehari menikah kok sudah mau pulang?” Kyai Luthfi membetulkan kaca matanya, “memangnya ada apa? Jangan-jangan kamu kena HIV seperti si Furqon itu ya?”
“Ah, Abah ada-ada saja. Ada urusan penting di rumah Bah.”
“Urusan apa?”
“Membuat pentol.”
Spontan Kyai Luthfi tertawa, “Lha urusan pentol saja kok dibilang penting Zam. Padahal ba’da sholat asar nanti seharusnya kamu mengisi kajian Al-Hikam di sini, menggantikan saya yang ada urusan penting di luar.”
“Urusan penting apa Bah?”
“Anu, beli odol dan sikat gigi. Kemarin odol saya digondol tikus, tidak tahu disembunyikan di mana. Jadi nanti agenda saya harus ke Super Market beli odol.”
Spontan Azzam tertawa, “Lha urusan odol saja kok dibilang penting Bah. Kalau saya menganggap membuat pentol sebagai urusan penting karena ini amanah. Ada yang memesan bakso untuk acara kondangan besok. Jadi saya harus menjalankan amanah ini sebaik-baiknya Bah.”
“Oo begitu. Beruntung sekali saya punya menantu sepertimu Zam, yang selalu bisa menjaga amanah. Lha saya sendiri menganggap beli sikat gigi sebagai urusan penting karena sudah menjadi agenda saya. Saya tidak boleh melanggarnya, karena ini sudah menjadi janji saya pada diri saya sendiri. Jadi, saya tidak boleh membohongi diri. Selain itu, sikap suka menunda-nunda itu adalah perbuatan setan.” Terang Kyai Luthfi.
“Oo begitu. Beruntung sekali saya punya mertua seperti Abah. Selalu bisa menepati janji, bahkan janji pada diri sendiri. Ya sudah, saya pamitan Bah,” Azzam beralih kepada Anna, “Dik, muuaah! Mas pulang dulu Sayang. Assalamu’alaykum.”
“Wa’alaykumussalam.” Kyai Luthfi dan Anna hampir bersamaan.
Suara sendal jepit Azzam terdengar semakin menjauh. Tampak dari belakang, Azzam terlihat begitu gagah, berwibawa di setiap langkah. Anna terus memperhatikannya dengan senyum dikulum. Kekagumannya kepada suaminya semakin bertambah: Azzam itu, lelaki istimewa. Mempunyai pendirian, tekad yang kuat, kedisiplinan, dan tampan pula. Tak terlukiskan bahagianya mempunyai suami semacam dia.
Anna bergegas kembali ke kamarnya, sementara Kyai Luthfi kembali membuka Koran di mejanya. Sejenak setelah itu, terlihat Azzam lari tergopoh-gopoh kembali. Nafasnya tidak beraturan, berkeringat dingin, dan tampak sangat gugup. Ia langsung menuju kamarnya. Ia bingung, tidak bersuara, tenggorokannya seakan tercekat. Sontak peristiwa itu membuat Anna mendadak cemas.
“Ada apa Mas? Ada masalah apa??” Anna gugup.
“Zam, ada berita buruk apa?” Timpal Kyai Luthfi setengah berlari.
“Mas, katakan saja ada apa? Kami mengkhawatirkanmu Mas.”
“Benar Nak Azzam, katakan saja. Kita akan selesaikan bersama.”
“Mas, kalau kamu tidak berterus terang bagaimana kami bisa membantu?”
“Nak Azzam, hendaknya kamu sampaikan masalahmu kepada istrimu!”
Azzam lantas memandang lekat-lekat mata Anna. Suasana tiba-tiba senyap tanpa suara. Detik ini, waktu seakan terhenti. Terlihat mulut Azzam sedikit mulai terbuka, Anna semakin cemas menanti penjelasan suaminya. Dan Azzam pun mengucap kata, “Istriku …”
“Iya, suamiku …”
“Ada uang saku? Aku nggak ada ongkos pulang.”
***
Azzam kembali lari menuju bus. Ia memilih duduk di kursi penumpang paling depan di belakang sopir. Perjalanan dari Wangen ke Sraten kurang lebih memakan waktu 45 menit. Untuk mengusir kebosanan, Azzam mengeluarkan majalah dari tas ranselnya. Bukan untuk dibaca-baca, tapi dipakai kipas-kipas karena bus yang ditumpanginya sudah butut dan pengap, serta tercium aroma besi berkarat. Sejurus kemudian Pak kondektur menyalakan VCD player yang tergantung dalam bus bagian depan. Lumayan, sedikit hiburan, gumam Azzam. Pak kondektur terlihat sibuk memilah dan memilih kaset VCD yang akan diputarnya. Dapat. Dia langsung memasukkan keping VCD itu ke dalam player. Sejenak kemudian, dari sound sistem yang tergantung, terdengar suara lengkingan seorang gadis, “Assalamu’alaikum!!!” Merespon ucapan gadis itu, sound system menunjukkan gemuruh suara para penonton, lalu gadis itu melanjutkan lagi, “Tangannya di atas semua!!! Mari bergoyang bersama PALAPA …”
“Astaghfirullah …” Ucap Azzam tiba-tiba seraya menutup mata dengan tangan kanannya, karena tampak di layar gambar seorang gadis berjoget dan berpakaian setengah telanjang.
“Pak kondektur! Tolong matikan tontongan itu. Ganti murottal atau nasyid saja! Astaghfirullah, Astaghfirullah …” seru Azzam.
“Lho, memangnya kenapa Mas?” Tanya Pak kondektur.
“Menonton tayangan semacam itu hukumnya haram!”
“Masak begini saja haram Mas? Ini kan sekedar hiburan.” Pak kondektur berkelit.
“Makanya Pak kondektur, sampeyan kuliah ke Al-Azhar, biar tahu hukum halal dan haram!”
“Lha SD saja saya nggak lulus Mas, masak mau kuliah ke Al-Azhar. Bahasa Arab saya juga nggak bisa blas!”
“Wah, berarti sampeyan kalah dengan anak-anak Mesir Pak. Di sana masih kecil-kecil saja sudah bisa bahasa arab.”
Obrolan dengan Pak kondektur membuahkan hasil. Tayangan orkes dangdut itu segera dihentikan, dan digantikan dengan menyetel VCD yang dibawakan Azzam. Tadinya Pak kondektur menolak ketika disodorkan VCD Jihad Palestina, takut dituduh teroris katanya. Akhirnya Pak kondektur memilih VCD Ipin-Upin saja, tayangan favorit anak-anaknya di rumah.
“Alhamdulillah, di bus juga bisa dakwah.” Kata Azzam dalam hati. Ia pun tersenyum lega.
Di tengah perjalanan, bus tua itu melaju dengan cepatnya. Dan tiba-tiba, si Sopir bus itu mengantuk. Seketika saja bus yang dikendarainya oleng ke samping kiri jalan. Si sopir tidak bisa mengendalikan. Semua penumpang berteriak histeris. Ada yang berdoa, menangis, anak-anak kecil dalam gendongan ibunya pun juga menjerit. Waktu berjalan sangat singkat ketika kejadian itu terjadi. Bus itu melewati trotoar, dan menubruk pohon besar di pinggir jalan. 5 korban jiwa, termasuk Azzam salah satunya. Ia telah terenggut nyawanya. []
* Kawan, kenapa saya bisa membunuh Azzam? Kau tahu, itulah asiknya jadi penulis. Kau akan bisa jadi ’tuhan’! [Oleh seseorang yang berjuluk Pendekarpemetikbunga –Ahsan Hakim--]
Jika Anda menyukai Artikel di blog ini, Silahkan
klik disini untuk berlangganan gratis via email, dengan begitu Anda akan mendapat kiriman artikel setiap ada artikel yang terbit di Blog Indahnya Berbagi
0 komentar:
Posting Komentar