Itulah sebabnya mengapa kata KAFFAH mendapat penekanan penting dalam al-Qur’an. Tak ada istilah setengah, seperempat, sepertiga, apalagi secuil !!!!
IBNU QUTAIBAH mencatat bahwa Imam Empat, Malik, Syafi’i, Ahmad dan Hanbal sepakat tentang kewajiban keberadaan Khilafah. Negarawan besar Imam al-Mawardi, dalam Al-Ahkam As-Sulthaniyah, yang diakui sebagai satu masterpiece dalam literatur politik Islam pun menyatakan hal yang sama. Sedangkan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, dalam Siyasah Syar’iyyah, menyatakan, “Sungguh imamah (khilafah) ini termasuk kewajiban agama yang paling besar, bahkan agama dan dunia tdak akan bisa tegak kecuali dengan imamah.”
Ibnu Khaldun, salah satu raksasa peradaban Islam, menyatakan hal yang sama dalam magnum opus-nya Muqaddimah. Masih banyak lainnya, seperti Imam Nawawi, Abu Ya’la al-Farra, dan Imam al-Qurthubi. Untuk ulama kontomporer, tentu kita tidak asing dengan Syekh Taqiyyudin An Nabhani, Syekh Ali Belhaj dan masih banyak yang lainnya.
Pesan yang ingin diketengahkan adalah, bahwa Khilafah sama sekali bukan barang baru. Apalagi akal-akalan segelintir orang.
Namun, menjadi wajar jika sebagian umat Islam pada pertamanya melakukan penolakan terhadap gagasan ini. Sejak keruntuhan Khilafah (Daulah Utsmaniyah) pada 3 Maret 1924. Praktis, generasi umat Islam hari ini tidak pernah lagi melihat dan merasakan realitas Khilafah tersebut. Maka, ketika seorang anak muslim ditanya perihal sistem pemerintahan, yang tergambar cuma thaghut sekelas republik yang demokratis.
Ditambah lagi, dengan upaya sekularisasi dan liberalisasi pemikiran oleh Barat dengan perpanjangan pemerintah boneka di setiap negeri muslim, membuat Islam yang umat pahami Cuma sebatas ritual ibadah belaka. Daya pikir terhegemoni akibat sistem kehidupan (terutama pendidikan) berpuluh-puluh tahun yang sama sekali tidak berpihak kepada Islam. Contoh, Kemal Attaturk, setan Inggris berdarah Yahudi yang mengeksekusi penghapusan Khilafah di Turki dianggap sebagai pahlawan di buku-buku sejarah sekolahan Indonesia.
Khilafah juga seringkali dilekati dengan fitnah-fitnah keji dari Barat. Benar sekali peringatan dari Allah, “Mereka tidak henti-hentinya memerangi kamu sampai mereka (dapat) mengembalikan kamu dari agamamu (kepada kekafiran), seandainya mereka sanggup.” (TQS Al-Baqarah : 217) Mereka terus memproduksi stigma-stigma negatif untuk men jauhkan kaum muslimin dari identitas keasliannya sendiri.
Khilafah dalam bahasa orientalis sering disebut, Kediktatoran teokratis yang absolut“. Dan untuk para pengembannya, telah disiapkan segudang stigma negatif semisal: Fundamentalis, ekstrimis, atau radikal. Terkutuklah Bush yang menyatakan Khilafah dengan istilah, “Imperium totaliter dari Indonesia sampai Spanyol.”Banyak sarjana muslim yang latah ikut-ikutan berbuat hal serupa. Manusia linglung yang ramah dan percaya pada kaum kafir tapi keji pada Islam dan umatnya sendiri. Khilafah sama sekali tidak sama dengan teokrasi. Khalifah adalah seorang pelaksana saja, implementator terhadap berbagai hukum syara’. Tidak ada istilahnya Khalifah bertindak dan membuat hukumm seenak udel dengan klaim bahwa dia wakil Tuhan. Sistem ini pun sangat khas. Tidak bisa dipadankan dengan imajinasi seperti sistem pemerintahan sekarang. Baik dari segi isi maupun struktur. Kita tentu sepakat, bahwa umat sedang dirundung permasalahn keterpurukan tanpa henti. Selalu pada posisi dibawah, disudutkan, dan terzalimi.Namun, walau pada tataran tersebut kita bersepakat, biasanya akan berbeda pada tataran solusi. Ada yang memilih untuk berjuang menegakkan syariah Islam dengan masuk sistem. Lewat gerakan sosial kemasyarakatan (baik pendidikan, kesehatan, dsb) dalam upaya menahan gerak laju neo-liberal menindas rakyat. Atau sekedar gerakan moral yang berkutat pada kualitas individu semata. Dengan sepenuh hati dan akal, kami yakin bahwa menegakan syariah dalam institusi Khilafah adalah solusi atas semua permasalahan dan prioritas utama dalam perjuangan hari ini. Pertama, mengingat bahwa kewajiban menegakkan syariah adalah perkara ushul yang tak membutuhkan ijtihad lagi. Kedua, realitas darul kufur yang hari ini menjadi tempat kediaman kita. Mewajibkan kita untuk melakukan perubahan, secara taghyir (revolusioner) bukan ishlah (reformasi). Ketiga, hasil dari pemahaman terhadap peristiwa Bani Tsaqif selepas wafatnya Rasulullah Saw. Ada beberapa kewajiban yang dihadapkan pada para sahabat. Seperti kita ketahui, kewajiban dalam Islam untuk secepatnya mengurus jenazah untuk dimakamkan. Mengirim pasukan dibawah komando Usamah bin Zaid ra. untuk menaklukkan Romawi sebagaimana wasiat Rasul. Memerangi para pembangkang zakat. Mempertahankan Madinah dari ancaman gelombang kabila-kabilah yang murtad. Serta mencari Imam baru, dalam soal pemerintahan, bukan kenabian. Ternyata, pilihan terakhirlah yang diambil para sahabat.Para sahabat berkumpul di Bani Tsaqif, untuk mendiskusikan siapa imam berikutnya. Dalam kajian Ushul Fiqh, kita tahu, bahwa ijma’ sahabat adalah dalil syara’ yang mutlak diterima oleh ulama dan kaum muslimin tanpa perdebatan. Selepas pengangkatan Abu Bakar as-Shidiq menjadi Khalifah, barulah segala kewajiban seperti mengurus jenazah Rasul, mengirim Usamah bin Zaid, memerangi para pembangkang zakat dan kaum murtad dilaksanakan. Dari peristiwa ini, penting dipahami, bahwa tafadhul (perbedaan keutamaan) di antara berbagai amal adalah masalah syar’i. Bukan masalah akal dan perasaan. Tapi, diselesaikan oleh asy-Syari’. Dalam kasus ini, menegakkan Khilafah yang aka menjaga akidah, menerapkan syariah dan mengemban dakwah Islam ke seluruh dunia adalah perkara utama yang harus didahulukan. Di lain soal, ada kecelakaan intelektual yang tragis. Cenderung pilah-pilih ketika ingin menyampaikan dakwah dan beramal. Perhitungannya adalah berat dan ringan. Ayat puasa lebih favorit ketimbang ayat hudud. Hadits tentang akhlakul karimah lebih ramai diminati ketimbang hadits “mati jahiliyah tanpa bai’at.”Padahal dalam Islam, tidak ada istilah hukum satu lebih tinggi ketimbang hukum lain. Semuanya agung, tinggi, dan mesti ditunaikan. Haji setara dengan hudud. Berbakti terhadap orang tua senada kewajibannya dengan menerapkan sistem ekonomi Islam. Begitu pula, akhlak Islam tak lebih utama dari Khilafah. Itulah sebabnya mengapa kata KAFFAH mendapat penekanan penting dalam al-Qur’an. Tak ada istilah setengah, seperempat, sepertiga, apalagi secuil ! Suka tidak suka. Syariah dan kehidupan Islam, cuma bisa hidup dibawah naungan Khilafah. Omong kosong besar jika syariah bisa hidup di bawah naungan negara sekuler. Tak ada sejarahnya tesis dan antitesis bisa saling bekerja sama.
Tapi mungkin itu pula salah satu keunikan Islam. Dien yang mengharapkan iman, ilmu dan amal menyatu.
Yang fasik, akan mengingkari hukum yang dianggap merugikannya.
Yang munafik, akan menerima dimulut tapi tak tampak dihati dan ditangan. Yang pengecut, ambil hukum yang mudahnya saja. Yang berjuang berteriak dingin, “Kami dengar dan kami patuh.”
Penting sekali sikap macam itu dijaga. Sebab, jika khilafah (dan hukum syara lainnya) memang masih harus ditimbang-timbang. Kaffah menjadi beban bergelayut. Maka jangan salahkan Allah, jika segenap doa minta kemenangan dan tangis penderitaan kita pun masih mengambang dihadapanNya. Allah memang Maha Baik, tapi jangan lupa. Allah juga Maha Adil.
Wallahu’alam bis showab
(abdurrahman Ardhi)
Sabtu, 09 April 2011
MASIH SEPUTAR KHILAFAH
Jika Anda menyukai Artikel di blog ini, Silahkan
klik disini untuk berlangganan gratis via email, dengan begitu Anda akan mendapat kiriman artikel setiap ada artikel yang terbit di Blog Indahnya Berbagi
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar