"Poligami hanya menjadi perangkat dalam membunuh karakter perempuan hingga menciptakan praktik dehumanisasi karena korban telah dibuat tidak berdaya, kehilangan harga diri dan logika"
Oleh: Mufti Wardani MSi
Mahasiswa Program Doktor Universitas Utara Malaysia asal Banjarmasin
Berita menikahnya KH Abdullah Gymnastyar yang akrab dipanggil Aa Gym untuk kedua kalinya, menuai reaksi dari sebagian masyarakat khususnya kaum hawa. Karena, sosok Aa Gym di mata sebagian besar perempuan adalah seorang pemimpin keluarga yang ideal dan penuh keteladanan. Keputusan Aa Gym untuk menikah lagi seolah-olah menjadi pukulan sendiri bagi kaum perempuan yang selama ini mengidolakannya. Hampir sebagian besar perempuan berkomentar kecewa atas pernikahan Aa Gym itu, karena bagi mereka walaupun agama membolehkan berpoligami secara syar’i namun yang akan merasakan pahitnya adalah kaum perempuan.
Berbeda dengan komentar dari kaum lelaki atas pernikahan kedua Aa Gym. Sebagaian besar lelaki mungkin sepaham bahkan sepakat atas keputusan Aa Gym untuk menikah kedua kalinya, karena yang menikmati manisnya ‘madu’ poligami adalah kaum lelaki. Perbedaan pendapat ini yang selalu menjadi perbincangan, atau lebih tepat dikatakan sebagai pergulatan pikiran di seputar problematika poligami antara kaum lelaki dan perempuan.
Boleh tidaknya poligami dalam perspektif Hukum Islam bukan menjadi pokok pembahasan dalam tulisan ini. Saya lebih berpretensi untuk membahas persoalan poligami dari sudut pandang sosial kemasyarakatan.
Sebagai seorang dai yang masyhur dan menjadi figur publik yang secara tidak langsung menjadi panutan umat, keputusan Aa Gym untuk berpoligami merupakan tindakan yang sangat berani. Dalam konferensi pers yang dihadiri istri pertamanya, dengan santun dan penuh senyum Aa Gym mengutarakan berbagai alasan yang mendasari keputusannya untuk berpoligami. Di antara alasan yang kerap dilontarkan Aa Gym dan sebagian besar ‘penikmat’ poligami, poligami adalah Sunnah Nabi yang harus dihidupkan.
Anggapan poligami sebagai Sunah Nabi akan menjadi bomerang bagi perempuan. Karena, suka atau tidak suka bila keputusan poligami didasarkan pada Sunnah Nabi akan menguatkan argumentasi kaum lelaki untuk berpoligami dan menjadikan kaum perempuan tidak berdaya. Legitimasi agama menjadi semakin kuat dominasinya dalam sebuah kebijakan yang memang sengaja ‘memanfaatkan’ agama sebagai sumber justifikasi atas apa yang hendak difatwakan. Walaupun, salah satu dari anggota masyarakat itu dirugikan atau banyak orang keberatan seperti kaum perempuan dalam persoalan poligami. Sebagaimana Rasulullah, poligami tidak didasarkan atas kebijakan atau perintah agama tetapi atas pertimbangan persoalan sosial saat itu menuntut Rasulullah untuk berpoligami. Inilah mungkin yang menjadi persoalan pemahaman masyarakat yang terlalu mudah menganggap poligami sebagai Sunnah Nabi. Padahal, sebagaimana dijelaskan dalam Kitab Ibn Atsir, poligami yang dilakukan Nabi adalah upaya transformasi sosial.
Mekanisme poligami yang diterapkan Nabi merupakan strategi untuk meningkatkan kedudukan perempuan dalam tradisi feodal Arab pada abad ke-7 Masehi. Saat itu, nilai sosial seorang perempuan dan janda sedemikian rendah sehingga seorang laki-laki dapat beristri sebanyak mereka suka. Rasulullah pun lebih lama hidup bermonogami dengan Khadijah RA yaitu selama 28 tahun, dan hidup berpoligami selama delapan tahun dari sisa umur beliau. Dari kalkulasi ini, tidak beralasan kalau praktik poligami merupakan Sunnah Nabi. Apalagi dengan melihat pernyataan dan sikap Nabi yang sangat tegas menolak poligami Ali bin Abi Thalib RA. Anehnya, teks hadits ini jarang dimunculkan di kalangan propoligami. Padahal, teks ini diriwayatkan ulama hadits terkemuka: Bukhari, Muslim, Turmudzi, dan Ibn Majah.
Rabu, 20 Juli 2011
Poligami: Masalah Atau Solusi
Jika Anda menyukai Artikel di blog ini, Silahkan
klik disini untuk berlangganan gratis via email, dengan begitu Anda akan mendapat kiriman artikel setiap ada artikel yang terbit di Blog Indahnya Berbagi
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar