Pengantar
Sebagai sebuah istilah maupun realitas empiris, poligami telah lama terkurung dalam wilayah perdebatan yang tidak ada habis-habisnya. Jika diteliti, pemicunya sebetulnya tidak terletak pada ke-zanni-an (ketidak tegasan) dalil mengenai kebolehannya, tetapi lebih banyak didorong oleh sejumlah kepentingan pihak tertentu atau buruknya praktik poligami yang ditunjukkan oleh kebanyakan pasangan yang berpoligami. Dalam batas-batas tertentu, hal ini kemudian dijadikan justifikasi (pembenar) oleh sebagian kalangan untuk menolak keabsahan poligami sebagai sebuah realitas hukum Islam. Bahkan tidak jarang, kalangan Islam Liberal, termasuk kaum feminis, memandang poligami sebagai salah satu bentuk penindasan atau tindakan diskriminatif atas perempuan. Demikianlah sebagaimana yang ditunjukkan oleh – sebagai misal – Abdullah Ahmed Na’im, tokoh Islam Liberal asal Sudan, atau Fatima Mesnissi, tokoh feminis asal Maroko.
Akibatnya citra poligami – yang kebolehannya telah mendapat justifikasi (pembenaran) dalam Al-Quran sekaligus pernah dipraktikan Nabi saw. – akhir-akhir ini semakin terpuruk, bahkan dalam batas-batas tertentu telah dianggap sebagai sebuah ‘aib’; suatu kondisi yang tidak pernah terjadi pada masa Rosulullah saw. dan para sahabat sendiri.. Ironisnya banyak diantara wanita muslimah sendiri bersikap defensif; meskipun tidak menolak kebolehan poligami dalam Islam, mereka tetap mengajukan sejumlah keberatan dengan berlindung di balik ungkapan. “Poligami memang boleh, tetapi, kan, tidak mesti dilakukan. “
Oleh karena itu, dalam rangka mengurangi pro-kontra yang tidak perlu, tulisan ini dimaksudkan untuk menelaah lebih jauh pandangan yang lebih proporsional di seputar poligami (ta’addud az-jawzat) dan sejumlah problem yang mengitarinya, sebagaimana yang diuraikan oleh Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani dalam kitab an-Nizhan al-Ijtimai hlm 127-135.
Mukaddimah.
Poligami saat ini masih menjadi pembicaraan hangat di tengah0tengah masyarakat, termasuk di kalangan aktivis perempuan, apalagi dengan gencarnya gerakan feminisme yang mengopinikan bahwa masalah tersebut sebagai bentuk diskriminasi terhadap kaum perempuan. Padahal Islam telah mengatur masalah poligami ini dengan rinci dan tegas, sebagaimana termaktub dalam firman Allaah Swt. Surat an-Nisa’ ayat 3.
Kaum feminis radikal memandang, bahwa kebolehan poligami merupakan deklarasi penindasan laki-laki atas perempuan yang tiada akhir. Mereka menuduh agama Islam – yang membolehkan poligami – telah bertindak bias jender. Pandangan seperti ini telah merasuki pikiran banyak aktivis perempuan dewasa ini. Bahkan pandangan ini, seakan-akan memperoleh legitimasi dengan adanya praktik-praktik poligami di tengah masyarakat kita yang tidak sesuai dengan tuntunan Islam. Ditambah lagi dengan adanya sosialisasi yang sistematis dan berkesinambungan tentang pencitraan negatif ibu tiri/istri muda, baik melalui film maupun cerita-cerita rakyat.
Berbeda dengan pendapat di atas, ada pula yang berpendapat bahwa dilarangnya poligami justru menjadi pemicu dan cenderung melegalisasi prostitusi. Kita simak salah satu ungkapannya, “Bayangkan saja, dengan tidak diperbolehkan menikah lagi, banyak pria memiliki wanita simpanan. Padahal, daripada berzina, kan lebih baik dikawin secara resmi.”
Selanjutnya ia menambahkan, “ Allah sendiri telah memperbolehkan pria beristri lebih dari seorang, dengan syarat, atas sepengetahuan yang tua dan berlaku adil.”
Jika demikian, bagaimana sebenarnya Islam memandang masalah poligami ini. Bagaimana pula hukumnya?
Poligami adalah solusi, bukan problem
Tidak dapat dipungkiri, bahwa bahtera kehidupan pernikahan seseorang tidak selalu berjalan dengan mulus; kadang-kadang ditimpa oleh cobaan dan ujian. Pada umumnya, sepasang lelaki dan perempuan yang telah menikah tentu saja sangat ingin segera diberikan momongan oleh Allah Swt. Akan tetapi , kadang-kadang ada suatu keadaan ketika sang istri tidak dapat melahirkan anak, sementara sang suami sangat menginginkannya. Pada saat yang sama, suami begitu menyayangi istrinya dan tidak ingin menceraikannya. Adapula keadaan ketika seorang istri sakit keras sehingga menghalanginya untuk melaksanakan kewajibannya sebagai ibu dan istri, sedangkan sang suami sangat menyayanginya; ia tetap ingin merawat istrinya dan tidak ingin menceraikannya. Akan tetapi, disisi lain ia membutuhkan wanita lain yang dapat melayaninya. Ada juga kenyataan lain yang tidak dapat kita pungkiri, bahwa didunia ini ada sebagian laki-laki yang tidak cukup hanya dengan satu istri (maksudnya, ia memiliki syahwat lebih besar dibandingkan dengan laki-laki umumnya). Jika ia hanya menikahi satu wanita, hal itu justru dapat menyakiti atau menyebabkan kesulitan bagi sang istri. Lebih dari itu, fakta lain yang kita hadapi sekarang adalah jumlah lelaki lebih sedikit dibandingkan dengan jumlah perempuan; baik karena terjadinya banyak peperangan ataupun karena angka kelahiran perempuan memang lebih banyak daridapa lelaki.
Namun demikian, fakta-fakta di atas tidak dapat dijadikan dalil pembenar bagi kebolehan poligami. Fakta-fakta tersebut sekadar mendukung pemahaman, bahwa poligami merupakan salah satu solusi bagi sebagian persoalan/permasala han yang dihadapi umat manusia. Sementara itu, dalil tentang kebolehan poligami ini tetap harus bertumpu pada nash-nash syariat, yakni al-Quran dan Hadis Rosulullah saw.
Hukum Islam Tentang Poligami dan dalil dalilnya.
Islam sebagai din (agama, jalan hidup) yang sempurna telah memberikan sedemikian lengkap hukum-hukum untuk memecahkan problematika kehidupan umat manusia. Islam telah membolehkan kepada seorang lelaki untuk beristri lebih dari satu orang. Hanya saja, Islam membatasi jumlahnya, yakni maksimanl empat orang istri, dan mengharamkan lebih dari itu. Hal ini didasarkan firman Allah swt. Berikut :
Artinya nikahilah wanita-wanita (lain) yang kalian senangi masing-masing dua,, tiga, atau empat – kemudian jika kalian takut tidak akan dapat berlaku adil, kawinilah seorang saja – atau kawinilah budak-budak yang kalian miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat pada tindakan tidak berbuat aniaya. (Qs an-Nisa’ [4]:3).
Ayat di atas diturunkan kepada Nabi Muhammad saw pada tahun ke -8 hijriah untuk membatasi jumlah istri pada batas maksimal empat orang saja. Sebelumnya sudah menjadi hal biasa jika seorang pria Arab mempunyai istri banyak tanpa ada batasan. Dengan diturunkannya ayat ini, seorang muslim dibatasi hanya boleh beristri maksimal empat orang saja, tidak boleh lebih dari itu. Menurut Taqiyuddin an-Nabhani, hal ini dapat dipahami dari ayat di atas jika kita baca secara berulang-ulang yaitu : Nikahilah oleh kalian wanita-wanita yang kalian sukai dua-dua, tiga-tiga, atau empat-empat.
Ungkapan di atas dapat kita analogikan pada hal lain, misalnya, kita mengatakan, “Tolong bagikan kue ini dua-dua (masing-masing dua).” Dengan ungkapan seperti ini saja kita akan memahami, bahwa kue tersebut dibagikan kepada setiap orang dua buah tidak boleh lebih dari itu. Demikian pula dengan ayat di atas, yang mengindikasikan bahwa setiap pria boleh menikahi wanita; masing-masing dua, tiga atau empat orang; tidak boleh lebih dari itu.
Memang dalam lanjutan kalimat pada ayat di atas terdapat ungkapan : Kemudian jika kalian khawatir tidak akan berlaku adil, nikahilah seorang saja. Artinya, jika seorang pria khawatir untuk tidak dapat berlaku adil (dengan beristri lebih dari satu), Islam menganjurkan untuk menikah hanya dengan seorang wanita saja sekaligus meninggalkan upaya untuk menghimpun lebih dari satu orang wanita. Jika ia lebih suka memilih seorang wanita, itu adalah pilihan paling dekat untuk tidak berlaku aniaya atau curang. Inilah makna dari kalimat : yang demikian adalah lebih dekat pada tindakan tidak berbuat aniaya.
Namun demikian, menurut an-Nabhani, secara mutlak, keadilan bukanlah syarat kebolehan berpoligami. Hal ini tergambar dalam ungkapan ayat :Nikahilah wanita-wanita (lain) yang kalian senangi dua-dua, tiga-tiga, atau empat-empat. Ayat ini mengandung pengertian mengenai kebolehan berpoligami secara mutlak. Kalimat tersebut telah selesai (sebagai sebuah kalimat sempurna). Kalimat itu kemudia dilanjutkan dengan kalimat berikutnya : Kemudian jika kalian khawatir …. Kalimat ini bukan syarat, karena tidak bergabung dengan – atau merupakan bagian dari – kalimat sebelumnya, tetapi sekedar kalam mustanif (kalimat lanjutan). Seandainya keadilan menjadi syarat, pastilah akan dikatakan seperti ini : Fankihu ma thaba lakum min an-nisa’ matsna wa tsulatsa wa ruba’a in adaltum (Nikahilah wanita-wanita yang kalian senangi dua-dua, tiga-tiga, atau empat-empat asalkan/jika kalian dapat berlaku adil) – sebagai suatu kalimat yang satu. Akan tetapi, hal demikian, menurut an-Nabhani, tidak ada, sehingga aspek keadilan secara pasti bukanlah syarat diperbolehkannya poligami. Artinya, perkara ini merupakan hukum syariat yang berbeda dengan hukum syariat yang pertama. Yang pertama adalah kebolehan poligami sampai batas empat orang, kemudian muncul hukum kedua, yaitu lebih disukai untuk memilih salah satu saja jika dengan berpoligami ada kekhawatiran pada seorang suami tidak dapat berlaku adil terhadap istri-istrinya.
Dengan demikian, menurut an-Nabhani, jika kita memperhatikan dengan seksama ayat ini, kita akan mendapati lebih dari satu hukum: (1) kebolehan beristri lebih dari satu (poligami) secara mutlak tanpa adanya syarat apapun; (2) Kewajiban untuk berlaku adil bagi seseorang yang telah memilih berpoligami. Akan tetapi, jika khawatir tidak dapt berlaku adil, ia dianjurkan untuk memilih satu orang istri saja, karena yang demikian ini dekat pada sikap tidak berbuat aniaya. Artinya, perlu diperhatikan di sini, bahwa jika seseorang sudah memilih untuk beristri lebih dari satu, ia diharuskan untuk memperlakukan seluruh istrinya dengan makruf dan adil. Sebab, keadilan merupakan hukum lain yang diperintahkan (baca:wajib) atas seluruh kaum Muslim; siapa pun dan dalam kondisi apa pun.
Namun demikian, keadilan yang dituntut atas seorang suami terhadap istri-istrinya bukanlah keadilan yang bersifat mutlak, tetapi keadilan yang memang masih berada dalam batas-batas kemampuannya – sebagai manusia – untuk mewujudkannya. Sebab, Allah swt sendiri tidak memberi manusia beban kecuali sebatas kemampuannya, sebagaimana firman-Nya :
Allah tidak akan membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya. (Qs al-Baqoroh [2] : 286).
Memang benar, kata an-Nabhani, kata ta’dilu pada ayat yang dimaksud berbentuk umum, yakni berlaku bagi setiap bentuk keadilan. Akan tetapi, kata yang bersifat umum ini di –takhsis (dikhususkan) , yakni sesuai dengan kemampuan alami manusia, berdasarkan ayat berikut :
Sekali-kali kalian tidak akan dapat berlaku adil di antara istri-istri kalian walaupun kalian sangat menginginkannya. Oleh karena itu, janganlah kalian terlalu cenderung (kepada salah seorang istri yang kalian cintai) hingga kalian membiarkan istri-istri kalian yang lain terkatung-katung. (Qs an-Nisa’ [4]: 129).
Melalui ayat di atas Allah menjelaskan, bahwa manusia tidak akan dapat berlaku adil dalam hal-hal tertentu. Hanya saja, harus disadari, hal ini tidak berarti bahwa Allah menganiaya manusia. Sebab, Allah berfirman :
Tuhan kalian tidak akan pernah menganiaya seorang manusia pun. (Qs al-Kahfi [18]:59).
Berkenaan dengan ketidakmampuan manusia berlaku adil sebagaimana yang ditunjukkan dalam al-Quran surat an-Nisa’ ayat 129 di atas, Ibn ‘Abbas menjelaskan bahwa ketidakmampuan yang dimaksud adalah dalam perkara kasih sayang dan syahwat suami terhadap istri-istrinya. Sebaliknya, selain dalam dua perkara ini, seorang suami akan mampu berlaku adil kepada istri-istrinya. Keadilan selain dalam kasih sayang dan syahwatnya inilah yang sebetulnya dituntut dan diwajibkan atas para suami yang berpoligami. Sebaliknya, keadilan dalam hal kasih sayang dan kecenderungan syahwatnya bukanlah sesuatu yang diwajibkan atas mereka. Hal ini dikuatkan oleh Hadis Nabi saw., sebagai mana dituturkan ‘Aisyah r.a. :
Rosulullah saw pernah bersumpah dan berlaku adil seraya berdoa,”Ya Allah, sesungguhnya aku bersumpah atas apa yang aku sanggupi. Oleh karena itu, janganlah Engkau memasukkanku ke dalam perkara yang Engkau sanggupi tetapi tidak aku sanggupi. (yaitu hatinya). (HR Abu Dawud).
Walaupun demikian, menurut an-Nabhani, bukan berarti bahwa suami berhak untuk memberikan kasih sayang dan melampiaskan kecenderungan syahwatnya secara berlebihan kepada salah satu istrinya dan menahannya kepada istrinya yang lain. Sebab, dalam surat an-Nisa’ ayat 129 ini pun Allah Swt., memerintahkan kepada seorang suami untuk menjauhkan diri dari kecenderungan yang berlebihan kepada salah seorang istrinya dengan menelantarkan yang lain. Sebab, keadaan semacam ini akan menjadikan seorang istri dalam keadaan terlantar atau terkatung-katung; antara memiliki suami dan tidak. Hal ini diperkuat pula oleh sebuah Hadis Nabi Saw., sebagaimana dituturkan oleh Abu Hurairah r.a. :
Siapa saja yang mempunyai dua orang wanita (istri), kemudian ia cenderung kepada salah seorang di antara mereka, niscaya ia akan datang pada Hari kiamat kelak dengan berjalan sambil menyeret salah satu pundaknya dalam keadaan terputus atau berat sebelah. (HR Ahmad).
Walhasil, keadilan yang diwajibkan atas suami terhadap istri-istrinya adalah dalam hal-hal yang mamp dilakukannya sebagai manusia, misalnya dalam giliran menginap; dalam memberi pakaian, makanan, dan tempat tinggal; dsb. Jika seorang suami tidak berlaku adil dalam hal-hal di atas, berarti ia telah bermaksiat kepada Allah. Sebaliknya, yang termasuk dalam kecenderungan, seperti dalam kecintaan dan syahwat, seorang suami tidak dituntut harus adil. Sebab, hal-hal semacam itu termasuk dalam perkara yang sulit untuk diwujudkan.
Khatimah
Demikianlah Islam menjelaskan tentang poligami secara rinci sebagai sebuah solusi atas problematika yang dihadapi umat manusia, baik yang menimpa kaum Muslim maupun bangsa-bangsa yang lain.
Dari penjelasan di atas, kita juga dapat memahami, bahwa kebolehan poligami bukanlah suatu bentuk diskriminasi terhadap kaum perempuan ataupun penindasan kaum laki-laki atas kaum perempuan. Sebab, Islam sendiri telah mewajibkan kepada seorang suami yang berpoligami untuk berlaku adil dan bergaul makruf kepada istri-istrinya. Justru, tanpa adanya poligami, masalah-masalah seperti di atas tetap akan ada tanpa ada pemecahannya. Artinya, sebagai suatu perkara yang dibolehkan (bukan wajib ataupun sunnah), poligami dapat menjadikan sebagian problem yang dihadapi umat manusia dapat terselesaikan. Akan tetapi, semua ini bekan merupakan ‘illat ataupun syarat bagi kebolehan berpoligami. Semua hal di atas hanya merupakan penjelasan atas fakta yang terjadi. Hukum poligami sendiri adalah hak Allah semata, yakni bahwa Dia telah menjelaskan tentang kebolehannya tanpa syarat apapun. Mencukupkan hanya beristri seorang saja adalah suatu hal yang dianjurkan oleh Allah hanya dalam dalam satu keadaan saja, yaitu ketika seorang suami khawatir tidak dapat berlaku adil. Selain keadaan ini, Allah Swt., tidak pernah mewajibkan seorang suami menikahi hanya seorang wanita saja. Wallahu a’lam bi ash-shawab.
http://www.readerscommunity.com/poligami-solusi-bukan-problem/
Rabu, 20 Juli 2011
POLIGAMI : Solusi, Bukan Problem
Jika Anda menyukai Artikel di blog ini, Silahkan
klik disini untuk berlangganan gratis via email, dengan begitu Anda akan mendapat kiriman artikel setiap ada artikel yang terbit di Blog Indahnya Berbagi
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar